MEMOAR PERJALANAN – Pukul 13:12, setelah saya mandi dan ganti baju di Hotel Dahlia, saya berangkat ke Swiss-Belhotel Cendrawasih untuk mengikuti kegiatan kami di hari ketiga di Biak. Pagi di hari keempatnya kami kembali ke kota Jayapura. Tiga hari empat malam. Setelah duduk tenang dalam ruangan AC yang hampir sama dengan kebanyakan hotel di Nabire, Jayapura dan Jakarta, saya tiba-tiba ingat; ternyata saya belum berkunjung ke Tugu Pepera di Distrik Samofa. Padahal saya sudah janji tadi pagi untuk berkunjung ke dua tempat sejarah di Biak: Monumen Perang Dunia II dan Tugu Pepera (1969).
Pukul 16:56, saya keluar dari ruangan lalu berdiri di depan Swiss-Belhotel Cendrawasih untuk menunggu ojek masyarakat Biak untuk berkunjung ke Tugu Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Tugu yang memperingati momen penting, apakah masyarakat Papua menjadi sebuah negara merdeka atau tetap menjadi bagian dari Indonesia. Hasilnya, Papua sudah hidup dengan Indonesia selama 56 tahun, walaupun proses Pepera ini masih diprotes oleh masyarakat Papua karena dianggap cacat hukum; dilakukan di bawah tekanan militer dan tidak sesuai prinsip “One Man, One Vote”.
Langit sore di wilayah Jalan Imam Bonjol terlihat biasa saja, tidak ada sesuatu yang menonjol. Saya tidak melihat senja menerobos masuk ruas jalan kota seperti sore hari di Pantai Nabire dan dermaga tua kampung Yoka Jayapura—di sana saya melihat senja pergi dengan senyum yang indah. Saya duduk dengan takjub, layaknya saya menatap senyum nona lahir besar Nabire dan nona lahir besar Sentani—yang diam-diam saya ingin suka lebih jauh, namun kebanyakan dari mereka telah memiliki bapak militer yang mentalnya belum kuat dalam perang melawan negara berdaulat, bukan melawan kombatan lokal yang membela hak makhluk hidup yang sudah hidup sejak lama di tanah adat.
“Bisa antar sa jalan-jalan ke Tugu Pepera baru kembali lagi ka?” tanya saya pada empat ojek yang sedang menunggu penumpang di pangkalan ojek depan Hadi Mart, samping Swiss-Belhotel Cendrawasih. Tiga ojek orang asli Papua dan satu non-Papua itu diam beberapa menit lalu merespons pertanyaan saya.
“Yang di mana? O… yang di Taman Mandouw itu, bisa kaka mari jalan,” balas mereka setelah saling tanya. Saya ingin ojeknya masyarakat Biak, tapi ternyata tidak. Tiga ojek orang asli Papua itu memerintah teman mereka yang non-Papua untuk mengantar saya. Saya tidak menolak karena itu hukum keadilan mereka dalam mencari nafkah hidup di ruang kota. Bergiliran.
Ojek yang berpenampilan seperti tentara itu membawa saya berbelok arah Markas TNI-AU, karena belok kanan bisa langsung jalan tanpa menunggu lampu merah. Kami langsung belok kiri arah Taman Mandouw di Jalan Sriwijaya. Saya melihat Taman Mandouw bersih, tidak sebanyak masyarakat Biak duduk, tidak seperti di Pantai Nabire dan Taman Gizi kota Jayapura. Tidak jauh dari Taman Mandouw, saya dan ojek sampai di Tugu Pepera. Saya melihat dua patung berdiri di kiri dan kanan dari posisi lambang Garuda, dan ada dua patung burung Mambruk dekat kaki dua patung.
Ternyata ini bukan Tugu Pepera, sangat berbeda dengan Tugu Pepera yang saya lihat di Google tadi pagi di hotel. Tapi saya tidak protes untuk ojek yang salah tangkap informasi saya.
“Mungkin dulunya tempat ini adalah Tugu Pepera,” pikir saya.
Tapi ternyata tidak, setelah saya cari tahu. Ini Taman Kota Merah Putih yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Biak Numfor dengan biaya 5 miliar. Dua patung yang berdiri adalah Jokowi dan Soekarno. Pukul 17:40, sore hampir gelap. Karena sudah hampir malam, saya tidak lanjut cari Tugu Pepera. Saya berhenti sedikit untuk memotret Taman Merah Putih yang belum menjadi tugu sejarah seperti Tugu Pepera yang saya gagal kunjungi karena salah informasi.
Seorang filsuf Jerman bernama Ernst Cassirer pernah memandang manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang membangun makna melalui simbol. Mungkin saja, tugu, nama dan identitas lainnya adalah sebuah simbol kedudukan pada identitas lain pada momen-momen sejarah yang pernah diukir oleh suatu komunitas manusia di suatu tempat.
Pukul 19:03, malam telah memeluk kota Biak dalam sunyi yang jamal. Saya belum kembali ke Swiss-Belhotel Cendrawasih. Saya sudah sampai di malam terakhir di Biak, malam ketiga. Besok pukul 06:00, saya harus berangkat kembali dengan nama pesawat yang sama saat ke Biak, Lion Air.
“Malam terakhir saya harus punya cerita dengan Insos Biak,” pikir saya di Swiss-Belhotel Cendrawasih dalam acara penutupan. Cerita yang saya pikirkan bukan tentang percintaan atau acara baku naik di hotel, bukan itu, tapi cerita tentang minum kopi di kafe sambil cerita tentang sejarah orang Biak dan Pulau Biak. Hasil media sosial online, Facebook, saya berkenalan dengan Insos Mayor, dan saya ajak minum kopi.
Saya dan Insos Mayor berjanji ketemu di Hadi Mart, tapi tidak jadi. Kami jadi ketemu di sebuah kafe berwarna hitam di samping Swiss-Belhotel Cendrawasih. Saya masuk kafe hitam itu setelah dia (Insos Mayor) mulai berangkat dari rumah. Beberapa kelompok anak muda bergaya gangster modern sedang bermain kartu joker sambil menonton pertandingan sepak bola Liga 1 Indonesia antara PSBS Biak lawan PSM Makassar. Setelah saya pesan americano dingin, saya naik tangga dan duduk di lantai dua.
Pukul 19:35, saya sudah duduk menunggu di teras luar lantai dua; ruang terbuka yang santai, terlihat kendaraan yang lewat dan parkir depan kafe. Pesanan saya datang, Insos Mayor belum sampai. Tidak lama duduk, Insos Mayor datang dengan motor Mio hitam. Dia parkir motor sambil membuang senyum ke atas; dia sudah tahu kalau orang yang menunggu itu saya, mungkin karena hanya saya yang duduk di lantai dua. Dia muncul dengan senyum terbaik dan saya juga menyambut dengan senyum terbaik.
Insos Mayor pesan kopi dan kentang, sambil menunggu kami berdiskusi tentang Papua setelah saling kenal lebih dalam. Insos Mayor selesai kuliah di kota Magelang tahun 2016 dengan sarjana teologi. Insos Mayor pulang ke kampung kelahirannya di Biak dan dia menjadi Pendeta GKII—sudah melayani selama tiga tahun.
Saya tanya tentang konten rumah baca yang dia posting di halaman Facebook beberapa hari lalu. Insos Mayor bercerita kalau di Biak ada beberapa rumah baca, dan kalau postingannya itu terkait dengan bantuan buku dari lembaga literasi di luar Papua yang datang untuk rumah baca di Biak. Insos Mayor ingin punya rumah baca; saat ini dia hanya sering mengajar di ruang kelas belajar di gereja yang dia layani.
Cerita mengalir hingga hampir satu jam lewat. Saya tidak mampu menulis semua cerita itu. Saya lebih dulu pamit pulang setelah kami berjanji akan bertemu lagi, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya kami bisa ketemu lagi nanti. Pukul 20:26, saya pulang ke Hotel Dahlia melalui Jalan Imam Bonjol dari kafe warna hitam itu. Tepat di pangkalan ojek, ada lima motor dengan orangnya menatap saya; mereka ingin saya naik ojek, tapi saya ingin jalan kaki.
Ternyata Hadi Mart ramai ketika malam datang, tapi tidak ramai seperti Hadi Mart Nabire dan Jayapura. Malam masih santai, ruas jalan masih terlihat tanpa orang mabuk hingga hari ketiga dan malam keempat. Selama tiga hari dan malam keempat di Biak, saya tidak bertemu kelompok orang yang sedang miras dan orang yang sudah mabuk, walaupun saya dengar masyarakat Biak miras saat malam saja—tapi malam juga saya tidak bertemu. Mungkin hanya saya yang tidak sempat bertemu.
“Orang tidak miras karena kondisi daerah lagi krisis uang,” jelas Insos Mayor ketika saya cerita tentang pengamatan saya selama tiga hari di wilayah Imam Bonjol.
“Padahal toko minuman buka di mana-mana. Ini beda dengan masyarakat Nabire dan masyarakat Jayapura,” sambung saya.
“Malam baru orang miras, siang tidak. Tidak ribut-ribut, tapi kalau ada yang mengganggu itu baru sering ada keributan, tapi ribut juga tidak besar,” cerita Insos sambil dia melirik arah parkiran motor tempat dia parkir.
“Bukan berarti miras dosa atau tidak, tapi mindset masyarakat Biak melihat miras dengan waktu itu yang saya salut. Masyarakat Biak sudah menjadi masyarakat modern, bisa atur waktu happy dan kerja, tidak seperti yang saya lihat di Nabire dan Jayapura—yang miras tanpa waktu. Kota Biak, kota paling aman di Tanah Papua, Bali-nya Papua. Masyarakatnya suka sapa, sangat welcome dan santai, tidak berpikir sesuatu yang berlebihan,” cerita saya tentang apa yang saya ketemu dan pikirkan, khususnya di wilayah Jalan Imam Bonjol dan beberapa ruas jalan yang saya lewati.
“Di kota Biak sini, mau ke mana pun aman, mungkin karena tiga suku itu,” balas Insos sambil ketawa kecil. Dengar tiga suku itu, saya jadi ingat Bapa Wambrauw tadi siang.
“Ya, mungkin Pulau Biak harus dikurung,” balas saya singkat sambil kunyah kentang dan minum kopi.
Mimpi buruk mengagetkan saya dari tidur yang dalam. Saya lihat jam di handphone sudah 05:55, saya paksa bangun dan duduk menarik napas di ujung tempat tidur yang menemani saya selama empat malam di kota Biak dari hari Selasa–Jumat. Saya bersiap untuk pergi dari kota yang bersih, tenang, dan kota paling aman di Tanah Papua.
Saya mandi jam 06:13. Setelah siap, saya menunggu teman-teman di lobi Hotel Dahlia yang ada di Jalan Selat Madura. Banyak nama jalan tidak identik dengan identitas masyarakat Biak. Tapi saya hanya melihat nama Jalan Sriwijaya, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Madura. Mungkin ada lainnya, tapi saya belum ketemu.
Pukul 07:00, sepanjang jalan menuju Bandar Udara Frans Kaisepo sunyi. Rumah-rumah tua yang sederhana diam tidak bergerak, menyimpan cerita sejarah mereka dengan tenang, rapi. Belum ada masyarakat Biak beraktivitas hingga di wilayah Bandar Udara Frans Kaisepo.
“Pagi duduk depan rumah dengan kopi dan buku, itu suasana yang akan menyenangkan bagi saya. Itu akan terlihat seperti masyarakat Eropa yang menikmati kesunyian di desa dengan asyik,” pikir saya dalam mobil sebelum kami sampai di Bandar Udara Frans Kaisepo.
Pukul 07:17, Bandar Udara Frans Kaisepo sedikit ramai, petugas sedang memeriksa tiket di pintu masuk. Saya masuk ruang tunggu setelah cek-in tiket di mesin yang seperti ATM uang. Hanya 20 menit di ruang tunggu lalu kami naik ke dalam perut besi untuk kembali ke kota yang sibuk, gelisah, kotor dan kota miras tanpa waktu.
Rasanya belum cukup di kota Biak. Saya ingin terus merasakan ketenangan bersama kopi dan buku di kota yang sunyi dan tenang. Bagi saya, Biak adalah kota yang membuat saya bahagia dalam tenang, sepi, bersih, aman. Dan kebahagiaan itu bukan karena Insos Biak atau Daun Bungkus, tidak, bukan itu. Akhirnya saya percaya kata teman-teman yang pernah lebih dulu datang ke kota Biak.
“Bila Ingat Akan Kembali,” kata teman sambil senyum lebar.
Sepertinya, saya akan datang lagi ke kota Biak, tapi tidak tahu, entah lebih cepat atau lambat. Hanya Tuhan yang tahu akan ke mana cerita ini berlanjut lagi. Terima kasih Manamakeri, Napi dan Insos; kalian memiliki sejarah yang berbeda dari kota lain. Sampai jumpa lagi di lain waktu yang indah bersama cerita yang berbeda.
(Nomen Douw)