Oleh : Nomen Douw

CERPEN – Matahari sedang pergi dibalik bukit sebelah barat dari kompleks Uwo. Komplek Uwo tidak pernah sepi, kecuali sore; banyak anak muda usia sekolah dasar hingga kuliah berkumpul, bermain handphone (HP), duduk, bercerita baku gara hingga bermain selayak makhluk hidup pada umumnya. Bocah-bocah usia Taman Kanak-Kanak (TK) berlari bermain bola karet di samping jalan. Ada kelompok yang beraktivitas hingga jam malam tembus pagi, kadang berkelahi, saling kejar, saling tinju, saling tantang dengan alat tajam. Komplek Uwo selalu ramai.

Wilayah Uwo lebih banyak suku asli, orang migran hanya empat rumah, empat rumah punya kios, selalu ramai siang bahkan malam depan kios, bocah-bocah duduk men jongkok melipat kaki, genggam smartphone (HP), duduk diatas batangan semen, menunduk, mata melotot dalam layar HP. Empat rumah punya anak berumur sekolah menengah dan dasar, jarang duduk depan rumah, apalagi dijalan, tidak, kecuali pergi ke Mushola belajar Alquran dan pagi berangkat sekolah.

Tiga mama berjalan pulang memikul hasil jualan setelah berjualan selama satu sampai lima jam di Pasar. Dalam noken elastis, ada ubi, ada singkong dan keladi, dua noken dipundaknya, noken pertama sayur ubi untuk makanan ternak dan manusia. Langkah perlahan pulang, memasak sayur dari kebun sendiri, makan ubi dari kebun sendiri; sebagai makanan pokok orang yang hidup diatas gunung dan sagu untuk orang-orang yang hidup di pesisir pantai dan rawa.

“mama besok jual lagi sudah,” kata Sigo melihat mama-mama membawah pulang jualan. Sigo, pemuda yang dikenal di kompleks dari humorisnya.

“tidak ada kulkas untuk besok dijual lagi seperti kebanyakan warung di kota-kota. Pulang masak saja,” balas Mama-mama kepada Sigo sembari berjalan lanjut memikul.

Bapak-bapak pulang berseragam Pegawai Negeri Sipil (PNS), ada yang berpakaian biasa berkaki kosong, dalam nokennya terlihat kertas putih, ada pulpen pilot hitam diujung gulungan kertas. Berjalan pulang ke rumah, ada yang mengajak anak mereka untuk pulang saat hari mulai gelap, ada yang hanya lewat, tidak peduli.

Matahari hampir tenggelam, Eko dan Sinta lewat dengan motor tua milik Eko. Sinta gadis yang dikejar semua pemuda di kompleks Uwo, tapi Eko berhasil membujuk hati Sinta dengan kesederhanaan hidup yang selalu di rumah dan prestasi di sekolah, Eko selalu ikut bapaknya melaut dan ikut mamanya ke kebun sayur dan ubi.

Sinta, perempuan peranakan Bandung Papua, bapaknya asli Papua, Sinta wanita yang cantik, sedikit gemuk berkulit coklat manis, berani, suka bicara banyak, romantis dan menyukai kesederhanaan hidup yang positif. Eko, asli anak laki-laki Papua, mamanya dari Sorong bapaknya dari pegunungan Papua, Eko pria hitam manis kurus, pemalu, rajin kerja, rendah hati dan pendiam.

Eko dan Sinta satu sekolah tapi bedah ruangan, Sinta di ruang satu, Eko ruang dua, mereka tidak pernah berbicara sebelum Sinta berkenalan dengan Eko waktu Eko juara lomba karya tulis ilmiah pada hari besar Papua 1 Desember. Mereka dua saling kenal tapi tidak begitu dekat. Eko suka Sinta tapi malu, tidak perna jujur karena banyak teman laki-laki selalu membicarakan tentang Sinta, tidak mungkin bagi Eko, tidak pernah berpikir memiliki Sinta.

Eko sudah terima hadiah lomba karya tulis. Besoknya pulang sekolah, di parkiran motor, Sinta menghampiri Eko yang pertama kalinya mereka saling kenal lebih dekat. Eko sudah melihat Sinta senyum lebar saat Dia menerima hadiah di acara puncak di Sekolah, Eko biasa saja karena mereka saling kenal sejak duduk dibangku menengah pertama (SMP).

“Eko, selamat e, kemarin juara karya ilmiah,” ucap Sinta sambil mengulurkan tangannya kepada Eko beri salam, Sinta senyum lebar, matanya bersinar memberikan makna khusus. Eko sudah diatas motor, pulang ke rumah, Sinta tiba-tiba berdiri depan motor, menahan Eko.

“makasih Sinta,” balas Eko mengulurkan tangan, Eko membalas senyum juga.

“minta ko nomor WA ka?,” minta Sinta dengan senyum.

“Sa tidak pake WA,” balas Eko dengan senyum kecil.

“facebook?” tanya Sinta lagi.

“tidak juga,” balas Eko.

“truusss ko pake apa saja?” tanya aneh Sinta, dalam hati Ia berpikir “laki-laki ini tidak ikut perkembangan sekali”

“maaf Sinta, sa belum punya HP, kalau Sinta perlu sa, nanti ke rumah saja, tau to sa rumah?”balas Eko.

“oh…. Ia sip,” balas Sinta. Mereka pisah, pulang.

Bapak Sinta adalah dosen yang terkenal di seluruh kota. Bapaknya perna jadi menteri selama satu periode (5 tahun) setelah menjabat sebagai Rektor Universitas. Setelah Sinta besar dan masuk sekolah tinggi, bapaknya sudah turun dari kursi pembantu Presiden (menteri).

Sinta memilih kuliah di daerah walaupun bapaknya minta kuliah luar daerah Papua, akan diurus beasiswa. Sinta menyukai yang sederhana, tidak sombong walaupun bapaknya punya mobil dan motor, Ia hanya menggunakan motor tapi juga kadang jalan kaki bersama teman-temannya pulang pergi sekolah sejak duduk di sekolah dasar. Teman-temanya dari keluarga biasa.

Sore-sore seperti biasa ramai di komplek Uwo. Cahaya senja mengubah; menjadi warna yang sejuk. Kali ini ada yang berbeda, ada orang teriak-teriak lalu diam, bicara banyak tapi tidak jelas, rupanya anak-anak satu kelompok sedang minum-minuman keras di pinggiran jalan. Beberapa orang tua sedang pulang dari pasar, belanja dan berjualan. Aktivitas biasa di komplek Uwo.

Sinta ingin bertemu Eko, ia pergi kerumahnya menggunakan motor Yamaha Mio, jarak rumah mereka hanya dua ratus meter. Sampai di rumah. Eko sedang kupas kelapa di samping rumahnya. Sinta sudah lihat Eko.

“Eko, sa kelapa satu ka?” sapaan Sinta sembari parkir motor.

“ada banyak ne,” balas Eko dengan sedikit kaget kedatangan Sinta ke rumahnya. Sinta duduk di samping Eko. Ekspresi Sinta seakan Eko sudah menjadi pacarnya.

“enak sekali airnya,” ucap Sinta setelah menikmati air kelapa.

“kenapa ko datang, nanti orang pikiran di kompleks sini lain-lain,” khawatir Eko sebab semua pria kejar Sinta.

“kenapa jadi, sa kan hanya bertamu,” balas Sinta dengan sedikit keras suara.

“Io, tapi satu komplek ini semua pria idola sama ko,” balas Eko sedikit takut.

“Eko, kita ke kedai kopi kah, sa mau cerita sesuatu, penting!!,” ajak Sinta kepada Eko pergi duduk di kedai kopi, tempat Sinta sering duduk dengan teman-temanya.

“Apa?, di sini saja, sa lebih suka disini, ini minum kelapa lagi,” tahan Eko, bagi Eko duduk samping rumah adalah kebahagiaan yang terbesar. Kebahagiaan Sinta lebih condong pada wajah kedai kopi, tapi Sinta bisa menyesuaikan ruang dan waktu.

“di kedai kopi saja, kita bisa duduk tenang bercerita to, ko tidak ada uang nanti sa yang bayar?” balas Sinta.

“bukan soal uang Sinta, kita harus membangun kebiasaan lokal kita yang sederhana yang milik kita, harus mencintai kesederhanaan ini, ini kekuatan kita, kedepan Sinta,” jelas Eko kepada Sinta. Sinta terdiam, tadi berdiri, sekarang duduk kembali di samping Eko, duduknya lebih dekat.

“Sa paham, mama sebelum meninggal juga selalu bilang kalau Sa harus mencintai orang-orang yang mencintai kesederhanaan hidup dalam keluarga, harus cinta budaya,” lanjut Sinta mengingat pesan mamanya sebelum dibawah pergi sang waktu pada alam asalnya.

“Eko, sebenarnya sa suka ko lama, cuman sa bapa mau, sa harus dengan orang-orang besar punya anak jadi sa sabar-sabar. Sekarang sa sudah besar, semua pilihan adalah sa punya hidup,” lanjut Sinta jujur bercerita. Sinta serius memandang wajah kering Eko, matanya mengirim pesan yang serius suka. Siap mencintainya.

“Sa juga tapi Sa malu dengan orang-orang di kompleks sini Sinta,” balas Eko, suaranya pelan merendah.

“Eko, status keluarga apapun tidak ada ukuran, kalau memang pertemuan ini adalah jodoh dari Tuhan, kita akan memulai hidup yang baru, apapun milik orang tua hari ini akan pergi dengan waktu seperti mama yang sudah pergi dengan waktu,” jelas Sinta menguatkan Eko yang agak pesimis, matanya menatap wajah Eko yang menunduk arah tanah. “Eko percaya sa,” lanjut Sinta.

“Ia Sinta, sa paham,” balas Eko sambil mantap wajah Sinta yang manis, rambutnya berkelahi diatas pundaknya seperti supermi. Tipe wajah wanita yang Eko suka sejak lama.

Eko dan Sinta sudah berpacaran, berjanji sembari menikmati kelapa muda disamping rumah Eko. Bersama mencintai yang kesederhanaan, duduk dimana saja, dengan siapa saja, tidak memilih bentuk dan karakter apapun keluarga. Hidup bersosial. Eko paham Sinta, Sinta paham Eko, Sinta punya teman-teman kebanyakan hidup dikedai-kedai kopi, Eko harus bantu orang tuanya pergi ke kebun. Mereka selalu saling paham, sama mencintai kesederhanaan hidup dari kecil, tidak kaget dengan sesuatu yang baru karena pengetahuannya cukup. Mau ke Kedai dan Kebun adalah sesuatu hal yang biasa. Eko dan Sinta yang kontrol pikiran. Saling paham. Tidak ada Ego dan Gengsi. Mereka dua telah membunuh.

Satu komplek Uwo alias akom (anak komplek), Sinta baru pindah ke kompleks Uwo setelah bapaknya diangkat menjadi menteri, baru dua tahun mereka satu kompleks. Bapa Eko dan Mama masih hidup. Masih pulang pergi melaut dan berkebun. Hidupnya lebih banyak dengan alam, tidak seratus persen uang, tapi uang dibutuhkan dalam hal lain. Pulang sekolah Eko ikut melaut bersama bapaknya, kadang ikut mamanya pergi berkebun sayur. Eko anak pertama, punya tiga saudara tapi sudah meninggal. Eko tulang punggung keluarga yang terakhir.

“Eko, Mama tidak mau ko dengan Sinta,” kata mamanya kepada Eko, di rumah sambil mereka sedang makan malam. Bapaknya sedang nonton TV.

“Kenapa mama, kita sudah saling cinta?,” tanya Eko, berhenti makan tiba-tiba, tubuhnya terpukul. Eko mencintai Sinta seperti Sinta juga cinta Eko.

“Pokonya tidak!!, kita dengan mereka bedah agama,” balas mamanya lebih Tegas.

“Ini cinta mama, bedah dengan agama,” jelas Eko, wajah Eko sudah berubah, Ia berhenti makan.

“Mama bilang tidak!, pokonya tidak!, besok Sinta datang sa akan usir dia,” ucap mamanya, lebih tegas, agak bentak. Eko berdiri, berlari masuk kamar tanpa balas.

Pagi, orang-orang di komplek Uwo masih kaku untuk bangun, Eko sudah bangun, duduk di teras rumah, seakan Eko mimpi buruk, kali ini bangun jam lima subuh. Eko duduk merenung masa depan cinta. Jam tujuh lewat tiga, Eko siap berangkat sekolah, mamanya sudah siapkan teh dan pisang rebus. Mamanya di dapur, sedang siapkan teh untuk bapaknya yang belum bagun. Bunyi motor, Sinta datang menjemput Eko berangkat ke Sekolah. Mamanya sudah di teras. Melihat Sinta.

“Eh…. Sinta!, Mulai hari ini ko putus komunikasi dengan sa punya anak Eko, jangan lagi jemput, pacar juga hari ini putus, saya dengan bapaknya tidak setuju!,” tegas mama Eko kepada Sinta yang sudah memarkir motor depan rumah, kadang Eko jemput Sinta, juga terkadang Sinta jemput Eko. Sangat romantis selama satu tahun lebih mereka hidup bersama dengan pikiran besar dengan tindakan sederhana. Sama-sama mencintai sederhana.

“Makasih mama,” balas Sinta putar motor, matanya melihat Eko lama. Eko diam dan tidak berangkat sekolah. Eko berputar arah, pergi berlari kepada pantai, bercerita tentang pedihnya bersama cakrawala laut dibawah langit yang biru. Meminta harapan pada doa-doa pikiran. Eko mencintai Sinta.

Hanya dua hari mereka tidak berjumpa. Hari ketiga, sore-sore, matahari sedang pergi, diatas komplek Uwo, ramai dengan anak-anak kompleks, duduk, berdiri, berlari-lari seperti ayam. Dua kelompok sedang melingkar sedang bermain game Ludo King, tempat yang berbeda, dalam rumah daun seng, bapak sedang duduk, ada yang berdiri ada yang duduk, semua pegang kertas bertulisan angka dan genggam pulpen sedang sibuk menghitung angka. Eko dan Sinta lewat diantara mereka. Jalan utama. Hampir semua mata berlari melihat Sinta dan Eko. Mereka bercerita tentang hubungan yang tidak disetujui kedua orang tuanya, tapi cinta adalah malas tahu. Cinta dapat membunuh dan Ia membutakan dunia yang lain.

Jam lima lewat tiga menit, Eko dan Sinta duduk di pantai berkelapa indah, warna pasir abu-abu. 100 meter dari komplek Uwo. Duduk di atas batang pohon kelapa yang melintang tidur sambil Sinta memeluk dan sekali-sekali mereka berciuman. Matahari sedang perlahan pergi dengan terang. Senja berubah buruk dan gelap, seperti isi hati Eko dan Sinta. Duduk bersama kecewa pada hubungan yang tidak setujui orang tua. Eko dan Sinta harap pada doa mereka dari dua hati yang bersatu. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama. Berjanji dan berjanji.

“Agama tidak bisa memisahkan sa dengan Eko, kenapa semua ini terjadi saat sa sudah cinta Eko ka. Ini waktu yang terlambat, sungguh kurang ajar, sa tau Eko; dia mencintai seperti sa cinta Dia,” curhat Sinta dalam telepon kepada teman baik di sekolah.

Pulang dari pantai, Sinta memeluk Eko di atas motor Honda Supra lama milik Eko. Masuk komplek dengan memeluknya. Mereka singgah di kios, depan jalan masuk komplek Uwo. Air putih untuk menyegarkan wajah yang baru dari pantai. Eko dan Sinta sudah percaya akan baik-baik dengan pilihan. Mereka dua salam semua orang di kompleks yang mereka ketemu. Seakan mereka dua besok berangkat jauh tidak kembali.

Sampai di rumah jam jutuh lewat lima menit. Eko langsung masuk kamar, dipaksa mamanya untuk makan malam tapi Eko memeluk bantal dan tidur. Pagi tidak bangun. Sinta sampai di rumah, masuk kamar tidak makan, adiknya memaksa untuk makan malam tapi Sinta diam dalam kamar. Pagi tidak bangun.

Eko dan Sinta sama-sama tidak bangun pagi, tidur hingga selamanya; mereka dua bertemu di dunia yang berbeda; menertawai orang-orang di rumah sedang nangis di samping tubuh yang sudah tanpa jiwa. Berbaring kosong depan semua orang yang mereka dua cinta. Waktu dengan mereka sudah berakhir. Agama telah membunuh Eko dan Sinta.

“Eko kita bahagia di sini,” kata sinta genggam tangan Eko dan menciumnya. Ia tersenyum.

“Ia sayangku, kita bahagia,” balas Eko balas mencium.

(Cerita ini hanya fiksi, mohon maaf jika ada penamaan nama dan tempat)

Share this Link

Comments are closed.