OPINI – Media lokal Papua Tengah terlihat sedang menghadapi tantangan yang berat dalam menjaga independensi, terutama ketika meliput isu-isu sosial dan peran Pemerintah Daerah. Konflik sosial, hingga kebijakan Pemerintah Daerah yang terlihat tidak berpihak pada masyarakat lokal membuat media berada dalam posisi dilematis:
Apakah tunduk pada narasi dominan Pemerintah Daerah atau memperjuangkan kebenaran yang berpihak pada masyarakat lokal? Persoalan ini kita perlu menjawabnya bersama. Tulisan ini saya coba melihat dari perspektif teori filsafat.
Dalam perspektif filsafat kebenaran, Plato (filsuf Yunani Kuno 427-374 SM) menekankan bahwa tugas pencari kebenaran adalah keluar dari “gua” ilusi menuju cahaya realitas (kenyataan). Media di Papua Tengah terlihat terjebak dalam “bayangan” yang diproyeksikan oleh kekuasaan atau Pemerintah Daerah: berita yang tidak sesuai, fakta hanya dari satu sumber, dan narasi dibentuk sedemikian rupa agar masyarakat luas menerima hanya dari cara melihat Pemerintah Daerah.
Tugas media menurut Plato di atas adalah menjadi “filsuf” yang berani keluar dari gua dan menghadirkan realitas sesungguhnya kepada publik. Artinya, perlu ada media alternatif yang kuat untuk menjaga indepedensi sesuai asas sebagai media yang bisa perlihatkan kebenaran bagi masyarakat lokal yang adil, yang sebenarnya.
Dari perspektif Immanuel Kant (Filsuf Jerman 1724-1804) independen media bisa dipahami melalui prinsip otonomi moral. Kant menegaskan bahwa tindakan yang bermoral harus didasarkan pada kewajiban, bukan kepentingan. Dalam konteks Papua Tengah, kewajiban media adalah menyampaikan kebenaran secara adil, tanpa tunduk pada tekanan politik maupun modal.
Ketika media memilih berpihak pada kepentingan tertentu, ia melanggar imperatif kategoris: “bertindaklah seolah-olah prinsip tindakan seseorang menjadi hukum universal.” Jika semua media tunduk pada kekuasaan, maka hancurlah demokrasi masyarakat lokal.
Sementara itu, perspektif Michel Foucault (Filsuf Prancis 1926-1984) mengingatkan kita bahwa di balik setiap narasi selalu ada relasi kuasa. Media di Papua Tengah menjadi arena “perang” antara Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal. Siapa yang menguasai media, menguasai cara masyarakat berpikir tentang Papua Tengah. Di sinilah independensi menjadi taruhan: apakah media sekadar memperkuat kekuasaan Pemerintah Daerah, atau justru memberi ruang bagi suara-suara masyarakat lokal.
Maka, peran media menjaga independensi di Papua Tengah bukan sekadar persoalan teknis jurnalistik, melainkan pertarungan filosofis antara kebenaran, moral, dan kuasa. Media yang independen adalah media yang berani berpihak pada kemanusiaan, karena di atas kepentingan politik dan modal, ada nilai universal yaitu”Martabat Manusia”
Publik memegang peran penting. Filsafat Jürgen Habermas (Filsuf dan Sosiolog Jerman 1929) tentang ruang publik menekankan pentingnya diskursus rasional. Jika masyarakat kritis, mampu menguji wacana yang disajikan media, maka propaganda tidak akan dengan mudah menguasai kesadaran kolektif atau kesadaran umum.
Independensi media di Papua Tengah adalah ujian nyata saat ini: apakah media di Papua Tengah masih setia pada idealisme jurnalisme, ataukah telah menjadi alat kuasa. Peran ini tidak bisa dimenangkan hanya dengan idealisme jurnalis, tetapi juga dengan kesadaran publik untuk menuntut kebenaran. Sebab, seperti kata Hannah Arendt (Filsuf Jerman 1906-1937), “kebenaran tidak bisa dipadamkan selamanya, ia hanya bisa ditunda.”
(DZ)