Oleh: Guido Kabes

Rumahku di ujung barat Papua, aku tinggal bersama sebelas saudaraku dan kita genap dua belas bersaudara. Kerukunan, ketentraman, kedamaian yang selalu menghibur diriku dan keluargaku saat itu. Dan rumahku di kenal tetanggaku sebagai rumah tua, rumah yang menyimpan banyak sejarah komoditas yang sering ku sebut dalam bahasa ku henggi atau di kenal tetangga ku pala. Rumahku kemudian terkenal menjadi rumah strategis sentra perdagangan rempah-rempah dunia kala itu.

Waktu berlalu tahun berganti globalisasi menghampiri rumahku, rumahku pun mulai di penuhi orang yang tidak ku kenal, semua kerukunan ketentraman kedamaian yang dulunya terlestarikan mulai perlahan menghilang, dan lebih mirisnya lagi mereka masuk di rumahku tanpa sepengetahuanku, mereka melakukan semua hal seenaknya rumahku di gebrek, di curi, di rampas, kebenaran di bungkam hukum pun dapat di beli dari orang-orang yang tak kukenal itu. Mereka mulai membangun komunikasi antara mereka tanpa sepengetahuan aku dan keluargaku, hingga yang terjadi saat ini aku dan keluargaku di anak tirikan, terlantar seperti rumah tak bertuan.

Orang-orang itu pun berusaha mengkalaim isi dalam rumahku menjelma menjadi penghuni rumahku agar mereka menghakimi warisanku, mereka datangkan yang namanya OTSUS, keluarga serta tetangga rumahku bahkan tidak tahu apa itu otsus? Mereka tamba mempersulit kehidupan ku sehari-hari, menjadikan rumahku sebagai tempat bisnis oleh sekolompok orang-orang yang tidak ku kenal itu.

Otsus membuatku tak mengenal siapa keluargaku, siapa saudaraku, bahkan mereka mengadu dombakan antara kita, menciptakan konfilik horisontal antara kita, mengacaukan kebersamaan aku dan keluaragaku.

Mereka mendatangkan otsus dengan alasan bahwa akan mensejahterakan keluargaku dan tetanggaku namun apa yang terjadi semua hanyalah omongan bibir yang tak kesampaian di hati, mereka membunuhku secara perlahan-lahan. Dinamika otsus yang terjadi di rumahku tamba mempersulit keluarga dan tetanggaku.

Disaat aku dan keluargaku mulai temukan suasana yang membuat ku bertanya mengapa aku dan keluargaku mengalami hal ini? Disitula aku mulai sadar betapa kejamnya orang-orang yang datang di rumahku dengan tujuan yang merusak keluarga dan tetanggaku, dan sekarang nasipku hanyalah ibarat luka yang diobati namun tak pernah ada sembuh-sembunya. RUMAHKU ISTANAKU

Rumah tua yang selalu ku dambakan, rumah tua yang selalu ku rindukan, rumah tua yang selalu mengajar ku arti sosialisme, budaya yang sudah menjadi bagian dari nafasku, dan mengajari ku arti kebersamaan dalam keberagamaan.

 

Admin Majalah Kribo

Share this Link

Leave A Reply