CERPEN – Kampung Aibore diatas bukit dengan ketinggian 800 mdpl kaki dari permukaan laut. Satu abab yang lalu Kampung Aibore masih tertutup dari kehidupan moderen. Tidak ada alat penerang selain tungku api dalam gubuk tradisional. Tidak ada lampu listrik apalagi koneksi internet, semua masih jauh dari cukup mengenal. Sama juga dengan batu semen dan besi. Kampung Aibore dihuni masyarakat kaya dengan alam, makan minum tinggal ambil pinggir gubuk, tidak perlu tanam dan menunggu panen, belum ada sistem bubuk kimia.

Semua bertumbuh dengan alami. Masyarakat Aibore hidup bahagia tanpa lapar dan tanpa penyakit yang membunuh. Tidak ada kematian di usia muda karena lapar, wabah dan kolera. Masyarakat hidup dalam budaya yang kental. Alam adalah hidup, memberikan nilai-nilai positif. Mereka kenal Tuhan namun belum mengenal Agama dan juga Kitab Suci. Masyarakat Aibore hidup dengan hukum Tuhan. Tentang kebaikan.

Kampung Aibore sampai pada kehidupan yang berbeda. Waktu semakin berubah setelah manusia bangkit dari Yunani kuno hingga peradaban Eropa Moderen. Kebudayaan baru menjamur ke pelosok dunia. Aibore sedikit moderen. Datanglah Agama dan Kitab Suci oleh dua sarjana muda asal Amerika. Masyarakat semakin mengenal ajaran Agama setelah dua pemuda bersarjana tiba di Aibore. Satu pemuda sarjana teologia bernama Tuan Cip dan temanya Tuan Philip sarjana geolog. Semua masyarakat Kampung Aibore tau hanya missionaris.

Kampung Aibore. Sepuluh tahun berlalu bersama dua sarjana muda asal Amerika. Diterima baik oleh kepala suku besar Aibore. Waktu yang lama, masyarakat semakin mengenal perintah Kitab Suci dan semakin setia pada tradisi Agama baru yang diajarkan oleh sarjana teolog. Kehidupan kedua pemuda sudah menyatuh erat dengan masyarakat Aibore, bahasa lokal Aibore menjadi bahasa kedua dari bahasa Inggris. Kedua pemuda itu dihormati dihadapan masyarakat Aibore sebagai pembawah terang serta kehidupan baru.

Dua puluh tahun Aibore. Lapangan pacuh pesawat jenis Cessna melintang di pundak bukit Aibore. Kerjasama dua bule Amerika dan Masyarakat Aibore. Dalam satu minggu sekali pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF) datang membawa segalah kebutuhan lalu pergi lagi. Kadang pesawat itu membawa beberapa orang bule Amerika datang ke Aibore dan pergi setelah dua tiga minggu di Kampung Aibore.

Tuan Cip sangat dekat dengan kepada suku besar Aibore. Tuan Cip sering bermalam digubuk kepala suku Aibore, kadang berpergiaan bersama ke hutan dan kebun. Kepala suku memiliki dua anak laki-laki, sudah berumur dua puluh satu dan dua puluh tiga. Mereka selalu ikut kemana pun bapaknya pergi, masuk keluar hutan dan bukit. Hari rabu sore. Tuan Cip khawatir karena kepada suku besar dengan kedua anaknya tidak perna kelihatan di kampung selama 3 hari, tidak kelihatan saat sore hari dihalaman gereja seperti biasanya. Tuan Cip pergi ke rumah keluarganya. Memastikan kepala suku Aibore dan kedua anaknya.

“Selamat sore,” sapa Tuan Cip sebelum sampai depan pintu gubuk milik kepala suku Aibore.

“Sore juga bapak,” balas Istri kepala Suku dari dalam pondok.

“ada bapa ka?” tanya Tuan Cip, sambil melihat mama kepala suku sedang asar keladi.

“Ado bapak, sudah tiga hari yang lalu masuk hutan belum pulang sampe sekarang ini. Mereka tiga dengan anak dua,” balas istri kepala suku sambil membersihkan keladi.

“kenapa lama begitu ka?” tanya Tuan Cip.

“io, baru kali ini mereka lama dalam hutan. Tidak biasanya,” jelas istri kepala suku.

“Ok Ibu, nanti saya cek dalam hutan besok pagi,” balas Tuan Cip sambil balik badan ke rumah pastori meninggalkan rumah kepala suku.

“Makasih bapak,” singkat istri kepala suku.

Pagi-pagi buta Tuan Cip keluar dari rumah pastori. Masuk hutan yang lebat dan bukit yang terjal tinggi. Ia berlari mengikuti bukit-bukit yang Ia perna keluar masuk bersama kepala suku. Tuan Cip berlari cepat karena Dia dan mereka menyimpan agenda konspirasi dengan rapi. Dalam perjalanan, Tuan Cip dengar teriakan keras, “bapa!!” berulang beberapa kali. Terdengar samar-samar dikejauhan. Hilang.

Tuan Cip berkeliling setiap kebun dan tempat berburu di sekitar kampung. Kepala suku dan kedua anaknya tidak ada jejak satu pun. Dari pagi hari hingga sore, Tuan Cip sudah lemas bercampur malas. Tidak ada tanda-tanda jejak. Berbaring lemah di batang pohon besar yang melintang, istrahat sejenak. Dengan capeh Ia berdoa agar Ia bertemu jejak kepada suku dan kedua anaknya sebelum kembali rumah. Lima menit kemudian setelah berdoa, ada sesuatu berlari. Anjing hutan berlari disampinya ke arah selatan tuan Cip menggikuti Anjing hutan berlari.

Seratus meter berlari ikut Anjing. Sampailah disuatu tempat dekat berbatuan, ada jejak, berdekatan dengan sunggai. Tuan Cip bertemu kepala suku besar Aibore berbaring tidak berdaya, napas tersedak-sedak, sulit bernapas, banyak darah mengalir diatas berbatuan dan kayu. Dengan cepat Tuan Cip memeluk dan melihat bagian tubuh yang terluka. Kepala Suku kena tembak senjata api, perut mengeluarkan banyak darah. Empat hari bertahan dengan darah yang terus mengalir dari dalam tubuh. Kepala suku sudah tidak mampu bertahan.

“Pak kepala suku, jangan pergi. Ini siapa yang lakukan,” tanya Tuan Cip dengan sedih air mata.

“Saya bilang, jangan ambil punyaku, semua yang ada di hutan ini milik masyarakat Aibore. Tuan Philip keluarkan senjata dan menembak saya beberapa kali,” jelas kepala suku kepada Tuan Cip dengan sulit tarik napas.

“Kurang ajar!!!, dimana Dia Sekarang!!!,”tanya Tuan Cip dengan emosi mata merah.

“Dia kejar kedua anakku kearah sunggai disana,” balas kepala suku sambil tanggan menunjuk. Kepala suku tutup mata dan tarik nafas terakhir.

“kepala Suku!!!…kepala suku!!!..Ya, Tuhan,” kata Tuan Cip memeluk kepala suku yang baru saja meninggal dalam pelukan erat Tuan Cip dia menangis tersedu-sedu memandang langgit dan berdoa.

Tuan Cip sangat sedih kehilangan sosok pejuang di kampung Aibore. Kepala Suku adalah orang pertama yang terima mereka dengan santun di kampung Aibore, memperkenalkan Agama dan Kitab Suci. Memikul mayat, Tuan Cip kejar Tuan Philip arah sunggai sejauh satu kilo. Sampai diujung jalan dekat bibir sunggai yang dalam, perahu milik kepada suku hilang, dibawah oleh kedua anaknya, berlari melaju kearah muara laut.

Tuan Cip balik dan pergi ke kampung. Jarak sekitar tiga kilo meter dan sudah jam enam. Mulai gelap. Tuan Cip terus berjalanan melewati segalah bentuk alam dijalan. Alam yang ingin merampas mayat tuan Cip dengan kekuatan doa terus maju dan akhirnya tiba dirumah dengan keringat dingin.

Tuan Cip menjelaskan kepada seluruh masyarakat dikampung Aibore yang datang dengan alat perang. Semua masyarakat dalam duka yang dalam, menangisi kepergian kepala suku besar mereka, tuan Cip memimpin masyarakat mencari tuan Philip untuk menggadilinya dan minta pertanggungjawaban. Masyarakat sumpah akan membunuh tuan Philip. Sampai dirumah dengan beberapa pemuda Aibore yang sudah siap cari.

Ternyata tuan Philip sudah pergi, seluruh barang tuan Philip tidak ada dan mendengar kabar dari salah satu pemuda yang ikut bersama mereka, katanya; kemaring sore jam tiga pesawat yang diparkir dua hari lalu terbang dari Kampung Aibore, tuan Cip tunduk mendadak dengan marah campur sedih. Dia akan telfon FBI (Federal Bureau Of Investigation) di Amerika, namun saluran telfon yang selama ini dipakai, dirusak oleh tuan Philip yang sudah tinggalkan Kampung Aibore kemaring.

“Tuan Cip, dimana kedua anak saya?” ucap istri kepala suku dengan nangis memeluk tuan Cip bertanya kedua anak tercinta.

“Saya minta maaf, mereka dikejar tuan Philip dan mereka pergi dengan perahu ke arah muara laut. Saya tidak mampu menggejar mereka,” jelas sedih tuan Cip kepada istri kepala suku.

“Adohh..Tuhan…tolong saya punya anak dua,” doa istri kepala suku sambil bercucur air mata.

Seluruh masyarakat Kampung Aibore berkumpul dirumahnya kepala suku. Mereka akan melakukan acara pelepasan ibadah dan pemakaman. Esok harinya beberapa pemuda mulai bergerak mencari kedua anak laki-laki kepala suku yang berlari menuju arah muara laut. Mereka akan ikut melalui muara hingga tembus dilaut. Sepanjang beberapa kilo tidak bertemu. Satu malam dipinggiran pantai. Belum bertemu. Mereka kembali siang hari.

Kedua anak laki-laki yang ditinggalkan Kepala Suku adalah pria calon pemimpin di Kampung Aibore. Karena bapaknya ditembak depan mata dengan senjata api oleh tuan Philip. Kedua pemuda lari dengan perahu. Perintah bapaknya setelah ditembak lalu berbaring lemah dengan penuh darah. Ada teriakan dari bapaknya dalam bahasa Aibore kau jangan kembali ke Kampung Aibore, pergi dan tinggallah di daerah lain. Kedua anak terus berlari hingga di laut. Lewati laut menuju kearah pulau yang terlihat titik dari mata. Sekitar satu malam satu hari mendayung hingga tiba dengan keadaan lemah. Terkapar bibir pulau Nuburi yang tadinya terlihat kecil.

Pulau Nuburu dihuni oleh suku Asli pesisir. Kedua pemuda dengan lemah dibawah beberapa pemuda yang melihat mereka di bibir pantai pasir putih. Tiba hadapan Kepala Suku besar Pulau Nuburi. Sosoknya dipenuhi perhisaan adat pesisir. Terlihat gagah perkasa. Suaranya bass seperti suara monster.

“Pria yang gagah dari bukit dan kampung yang hampir sirna karena dosa Orang asing. Selamat datang di Pulau Nuburi yang kaya akan kekayaan alam laut,” kata sambut Kepala Suku Nuburi kepada dua pemuda dari Aibore. Kaka dan adik.

“Makasih Kepala Suku, kami berdua adalah anak kepala suku Kampung Aibore yang baru beberapa hari yang lalu dibunuh oleh orang Amerika depan mata kami berdua,” balas kakanya kepada kepala suku dengan wajahnya memohon, adiknya menanggis tiba-tiba ingat bapaknya.

“Perjalanan kalian berdua, saya sudah mimpi tadi malam. Selamat menjadi warga pulau Nuburi dan sebentar lagi kalian berdua akan menikah dengan putri-putri pulau Nuburi. Mari berpesta dansa malam ini,” suara bass keras Kepala Suku besar Pulau Nuburi menyambut kedua pemuda depan seluruh masyarakat Pulau Nuburi. Semua berteriak akan memeriahkan dalam acara makan dan minum.

“kami berdua sangat lapar, kami dua lebih butuh makanan daripada wanita kepala suku,” balas lemah kakanya.

“kalian berdua akan makan sampai puas, tapi igat, Pulau ini butuh keturunan, mau tidak mau, kalian berdua sebentar malam juga kawin. Pulau ini seumur kalian berdua dilarang hidup sendiri, harus memiliki wanita untuk memiliki keturunan,” balas kepala suku sambil ia memerintah masyarakat beri makan dan minum.

“terimakasi kepala suku,”balas kakanya sambil mereka dua saling tatap lahap makanan dan minuman dengan rakus.

Tiba malam, Pulau Nuburi dikelilinggi dengan lampuh api obor. Acara meriah dibawah bulan terang. Pesta rakyat. Semua warga keluar dari rumah ke halaman besar depan rumah kepala suku besar. Kepala suku duduk seperti seorang raja mesir. Pasir putih berkilau dengan cahaya bulan dan obor, aromah makanan daging dan minuman kelapa soda temani malam. Gadis-gadis diatas umur kawin berkumpul depan wajah kedua pemuda asal Aibore. Perintah kepala suku besar Pulau Nuburi.

“Pilihlah dan malam ini sekaligus acara puncak pernikaan kalian berdua. Malam ini untuk kalian berdua, darah perang untuk Pulau Nuburi,” kata kepala suku angkat mangkok kayu, bersulang depan masyarakat Nuburi untuk kedua pemuda Aibore

Malam ramai. Banyak makanan. Meriah dalam lagu-lagu tradisional dan musik khas menemani acara pernikaan dua pemuda Aibore. Menikah dalam tradisi pesisir. Bergandeng tanggan hingga masuk rumah yang disediakan kepala suku besar. Terjadi hingga pagi, bangun dengan situasi yang berbeda.

Dua puluh tahun berlalu. Kakanya menjadi kepala suku di pulau Nuburi. Mereka dua memiliki istri lebih dari dua dan mempunyai banyak anak. Setelah menjadi kepala suku Nuburi, mereka dua pergi ke Aibore dengan rombongan pemuda pulau Nuburi. Empat perahu masuk muara. Tempat dua beradik kaka keluar dari Aibore. Sampai di sunggai yang berdekatan dengan kampung Aibore. Aibore telah berubah. Banyak batu-batu besar dari bukit menutupi sebagian sunggai dan kampung.

Melalui muara. Empat belas kilo sampai di kampung Aibore. Bukit yang tinggi diatas Kampung Aibore dahulu, sudah tidak terlihat. Kampung Aibore telah ditutupi dengan batu besar dan kayu dari gunung. Aibore sepih, tidak ada kehidupan orang-orang Aibore, seperti hutan tanpa suara manusia. Hanya nyanyian burung. Semua Rumah warga dan orang-orang hilang akibat longsor yang besar. Aibore tenggelam. Mama mereka dua dan tuan Cip hilang, ditelang tanah bersama batu dan kayu. Kampung Aibore sudah hilang. Semua cerita tentang mereka dua, seluruh keluarga dan masyarakat di kampung Aibore hilang dan lenyap.

Kedua pria itu nanggis diatas rumah-rumah yang dulu mereka lahir dan besar bersama bapaknya, mamanya dan orang-orang Aibore. Kepala Suku Nuburi dan adiknya menangis selama dua jam. Mereka harus kembali sebelum gelap dan hujan datang. Sebelum tinggalkan kampungnya Aibore dalam sedih dan duka, kakanya ingat kata bapaknya sebelum disuruh lari, ”kalian berdua harus lari dari kampung Aibore, Pergi hidup diluar sana, kampung Aibore telah hancur karena orang Amerika, jangan kembali”

(Oleh : Nomen Douw)

(Cerita ini hanya fiksi, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat)

Share this Link

Comments are closed.