CERPEN – Sa (saya) nafas sesak dalam masker hitam yang Sa beli di Apotek K-24 di jalan percetakan. Sa tutup rapat sebagian tubuh dengan serba hitam: jaket hitam, topi hitam, kaca mata hitam dan masker hitam. Sa tutup wajah bukan untuk menyamar karena bicara papua merdeka, jual ganja atau teroris. Itu tidak. Sa orang biasa; hanya suka jalan-jalan kemana saja Sa ingin pergi. Mungkin pergi hanya untuk berbagi cerita sejarah untuk dibuat menu fiksi bagi orang yang suka cerita. Mirip seperti seorang pengembara untuk pengembara.

“Tolak jam dua kaka.” balas Ade Efertin melalui chat WathhApp (WA) setelah Sa tanya.

“Tolak jam tiga kaka.” balas Ade Jhon melalui chat WA setelah Sa tanya.

“Tolak jam empat agen.” balas kaka Yepa melalui chat WA setelah Sa tanya.

Kapal terakhir bulan keempat sudah sandar di dermaga. Bulan ini Sa harus pulang ke kota yang banyak menyimpan banyak cerita berwarna. Semua cerita ada disana bersama orang-orang dekat. Niat harus pulang Sa kumpul dari dua bulan yang lalu, dan tanggal yang Sa tunggu adalah hari ini. Waktu yang Sa tunggu dengan gelisa. Sa tidak mau terlambat kapal, apalagi ketinggalan dan batal pergi dari kota ini. Sa sudah beli tiket dari tiga hari yang lalu.

Di lembar tiket kapal sudah jelas_kapal akan tolak jam empat. Tapi Sa masih ragu karena banyak kasus yang Sa perna dengar. Misalnya kasus kapal lebih cepat masuk dan keluar. Sa harus duluan. Tunggu di dermaga, seperti menunggu pesawat di Bandar Udara Sentani dengan santai.

“Jam dua baru penumpan naik kapal.” balas petugas tiket setelah Sa tanya.

Keringgat keluar karena jaket hitam yang tebal tidak buat udara kena kulit. Kepala mendidih dalam topi, nafas yang keluar pantul di kaca mata hitam, kaca mata berubah buram karena basah. Tas kembung hitam yang Sa pikul hanya berisi alat mandi, baju, buku catatan dan buku bacaan. Tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan.

Jam satu siang belum ada tanda-tanda penumpang naik kapal. Sa keluar sebentar dari lingkungan dermaga. Sa ingin duduk di kedai yang diatas bukit untuk menikmati angin di ketinggian dan tidak jauh dari dermaga. Gegas keluar diantara kontener dan kendaraan. Sa handphone (hp) berdering. Nomor baru.

“Kaka dimana?” suara Ade Insos. Suara diantara keributan. Ade Insos diatas kendaraan.

“Sa di pelabuhan ini. Ade Insos kemana?” balas Sa jangan sampai Ade Insos datang ke dermaga. Sa tidak mau ada masalah. Dia punya keluarga sudah usir Sa kemaring dari rumah saat Sa minta Ade Insos (minang). “Kaka Sa su cinta kaka sekali,” kata Ade Insos sebelum Sa pergi kerumah. Setiap kali chat dan kita ketemu, Ade Insos sering ulang kata itu. Sa jadi berani pergi kerumah minta Ade Insos karena kata itu. Tapi nyatanya tidak. Semua keluarga tolak Sa dengan alasan Ade Insos mau lanjut kuliah.

“Sa sudah sampai di pelabuhan ini. Kaka dibagian mana?” tanya Ade Insos.

“Diatas kapal mau tolak ini. Ade balik sudah. Kalau kita jodoh, nanti kita ketemu lagi.” ucap Sa bilang Ade Insos kembali. Sa tidak mau ketemu Ade Insos. Bukan karena Sa tidak sayang, tapi karena Ade Insos punya keluarga larang Sa ketemu Ade Insos lagi. Kalau Sa ketemu, mereka akan lapor Polisi. Akan ada masalah baru.

“Kaka, Sa tau, Sa pu keluarga semua tolak kaka tapi Sa cinta kaka. Sa mau ketemu yang terakhir kali ini saja kaka. Sa mau kasih makanan spesial untuk kaka makan diatas kapal,” ucap Ade Insos ingin ketemu yang terakhir dengan menu makan spesial untuk Sa. Seakan Ade Insos tau kalau Sa belum makan dari pagi.

“Ok, Sa depan pintu masuk sebelah jalan depan kios. Sa ada berdiri.” balas Sa.

Setelah Ade Insos bayar ojek depan Sa, langsung Dia peluk Sa dengan cepat. Sa balas peluk, tidak pusing orang Biak di wilayah dermaga dong lihat baru lapor Ade Insos punya keluarga. Yang jelas Sa akan berangkat sebentar jam empat. Tinggal satu jam lebih.

“Ini makanan kaka.”ucap Ade Insos sambil perlihatkan makanan yang Dia bawa setelah peluk Sa. Pipi kecil halus basah dengan air mata. Dia lap cepat dengan baju biru yang Dia pake; baju yang Sa belikan waktu Ade Insos ulang tahun di Mall. Sa terbawa dalam kesedihan Ade Insos, tapi Sa tidak keluarkan air mata. Sa tahan biar kelihat laki-laki yang kuat depan Ade Insos.

“Makasih. Langsung balik sudah. Sa mau naik kapal,” ajak Sa, tidak mau kita ketemu lama-lama depan kios. Dia peluk Sa untuk perpisahaan. Tidak tau kita akan ketemu seperti apa lagi. Ade Insos pergi naik ojek tanpa balik lihat Sa setelah menanggis dalam pelukan. Mungkin diatas motor air mata kembali menetes. Sa akan pergi dengan Ade Insos punya kesedihan.

Penumpan sudah mulai naik, tapi Sa tidak ikut naik langsung. Sa harus isi perut dulu. Sa duduk di kafe Holandia untuk makan. Sa dengar stom kapal bunyi yang kedua setelah duduk. Sa duduk dengan semua perasaan yang Ade Insos bawa tadi. Buka menu makan Ade Insos setelah Sa pesan air putih dingin.

Angin datang bawa pergi keringat panas yang sudah bikin baju basah. Bernafas rileks. Santai. Sa tarik napas dalam-dalam dan melepas perlahan, mata memandang sebagian kota Jayapura dan dermaga barang bertulisan Port Of Jayapura pada alat Rubber Tyred Gantry Crane. Truk tronton kontener keluar masuk memindahkan kontener dari atas kapal kargo yang sudah parkir entah dari kapan.

Sa hanya dengar bunyi stom yang ke tiga kali. Sa tidak gegas pergi kejar kapal yang akan lepas tali. Sa tenggelam dalam menu makan Ade Insos: Ikan Cakalan Bakar, Keladi Rebus, Sayur Kangkung rebus dan Sambal manis. Ade Insos tau Sa. Sa biasa ajak Dia makan di warung ikan bakar. Dia buat menu makan persis kaya di warung ikan bakar yang kita biasa makan. Menu makan ini kadang bikin Sa lupa menu makanan moderen di kota yang kebanyakan orang suka seperti Sa. Ade Insos kadang tolak kalau Sa ajak makan di restauran (rumah makan) di Mall.

“Ini makanan mahal. Seharusnya kita beli ikan baru masak dirumah. Setelah makan itu kita pasti kenyang yang sama to,” kata Ade Insos sembari makan di Mall waktu itu.

Kapal sudah tolak dari dermaga. Lewat depan Sa mata. Depan kupang. Kapal itu yang Sa kejar dari malam setelah Sa beli tiket. Pagi hanya tunggu kapal itu Sa pindah-pindah kedai hingga hampir senja. Sa lihat jam ulang-ulang, hingga Sa tanya ade Jhon, Yepa dan ade Efertin; padahal di lembar tiket, jelas ada Sa nama, nomor tempat tidur, jam keberangkatan dan jam tiba. Sa takut ketinggalan kapal karena Sa harus pergi dari kota ini. Sa sudah malas. Kota ini tidak ada cerita yang ikat Sa hati.

Menu makan Ade Insos bikin Sa lupa jam berangkat kapal. Benar-benar lupa Sa harus berangkat pergi. Seharusnya Sa ada dalam kapal yang ada belok tanjung kayu batu. Kenapa Sa menikmati Keladi Rebus, Ikan Cakalan Bakar, Sayur Kangkung Rebus dan Sambal Manis. Kapal sudah hilang dibalik tanjung kayu batu yang melintang. Makanan Ade Insos juga habis ikut kapal yang sudah hilang. Setelah selesai minum air putih, Sa kembali pelabuhan untuk kejar kapal. Tiba-tiba Sa kaget. Sa lupa kalau kapal sudah tolak tiga puluh menit yang lalu. Menu makan Ade Insos bikin Sa lupa yang sebenarnya. Lupa realita. Lupa depan mata yang seharusnya.

Orang-orang sedang pulang dari dermaga. Tenaga Kerja Bongkar Muatan (TKBM) sedang pulang dengan tanggan kosong, berkeringat sial. Seperti Sa. Pulang dengan sial. Ade Insos punya keluarga semua sudah tolak Sa. Sa ingin pulang. Sungguh, Sa malas tinggal di kota ini. Lihat kota ini saja Sa sudah malas. Kenapa Sa harus manikmati menu makan Ade Insos tadi. Sa menyesal ulang-ulang.

Sa jalan pelan-pelan depan Taman Mesran. Dengan malas tambah keringat mandi dengan jaket tebal. Tiba-tiba handphone berdering dalam saku. Nomor baru. Sa respon dengan malas.

“Dengan siapakah?” tanya Sa lemah.

“Kaka lihat ke arah taman sini,” Sa kenal suara ini. Ade Insos. “Ado!!!” Sa kata jengkel.

Sa putar kepala arah Taman Mesran. Dibawah pohon besar yang sombar, Ade Insos tersyenyum manis tatap Sa. Sa melangkah dengan malas.

“Ko bikin Sa ketinggalan kapal ini!!” ucap Sa setelah sampai depan Ade Insos. Sa sedikit kesal dengan suara tinggi.

“Seharus kaka bersyukur menu makan seperti itu. Spesial khusus untuk kaka lebih baik. Daripada menu makan KFC di Mall atau restauran (rumah makan) elit yang Sa bawa. Menu makanan elit itu kaka bisa mati cepat. Akan ada yang bisa mati dalam diri kaka,” jelas Ade Insos membela menu makan spesial: Ikan Cakalan Bakar, Keladi Rebus, Sayur Kangkung Rebus dan Sambal manis.

“Oke, mulai sekarang Sa tidak akan makan di KFC di Mall atau di restauran elit. Sa akan makan Ikan Cakalan Bakar, Keladi Rebus, Sayur Kangkung Rebus dan Sambal Manis.” janji Sa.

“Ayo kita pulang sayang. Bapa dengan Mama sudah tunggu kita dengan Pepeda Kuah Kuning, Keladi Rebus, Ubi Rebus, Sayur Ubi, Kangkung Tumis, Singkong dan Sayur Bunga Pepaya.” ajak Ade Insos pegang Sa tangan.

Kami dua pulang. Bunyi lagu terdengar dari depan jalan di kompleks. Semua keluarga sambut Sa dengan Ade Insos dengan meriah depan pintu pagar sampai pintu rumah. Ramai dengan lagu”Masuk Minta Nona Kofiau”. Sa peluk Ade Insos depan keuarga besar semua. Sa buktikan kalau Sa cinta Ade Insos karena Menu Makan. Sa cium Ade Insos. Ade Insos balas cium Sa.

(Nomen Douw. Pasir Enam, Februari 2024)

Share this Link

Comments are closed.