Siaran Pers
Nomor : 028/SP-LBH-Papua/XII/2021
PAPUA – “Gubernur Propinsi Papua dan Papua Barat serta Ketua DPRP segera mendesak Pembentukan Pengadilan HAM di Papua dan pelibatan Penyidik Ad Hoc dalam Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014”
Kasus paniai berdarah yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2014 dan 8 Desember 2014 adalah salah satu kasus dugaan pelanggaran HAM Berat yang terjadi beberapa bulan setelah Presiden Jokowi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014 pada periode pertama. Atas dasar itu, menunjukan bahwa kasus paniai berdarah adalah kasus dugaan pelanggaran HAM Berat yang tentunya menjadi sebuah kasus yang akan mengukur komitmen Presiden Jokowi selaku pemimpin tertinggi pemerintah yang memiliki kewajiban konstitusional untuk menjalankan ketentuan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), UUD 1945.
Pada perkembangannya Komnas HAM Republik Indonesia selaku penyelidik kasus dugaan pelanggaran Ham Berat melakukan penyelidikan atas kasus tersebut selanjutnya dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa “Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2020 (Baca : https://nasional.tempo.co/read/1307953/komnas-ham-tetapkan-kasus-paniai-sebagai-pelanggaran-ham-berat/full&view=ok). Selanjutnya bekas perkara kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai Berdasar dilimpahkan ke Jaksa Agung Republik Indonesia namun dikembalikan beberapa kali.
Setelah pulang balik bekas kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai dari Komnas HAM RI Ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia akhirnya pada tanggal 3 Desember 2021, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menerbitkan Keputusan jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tanggal 3 Desember 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014 selain itu Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan juga Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-79/A/JA/12/2021 yang diketua oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ali Mukartono dengan anggota Tim penyidik berjumlah 22 jaksa senior (Baca : https://nasional.tempo.co/read/1307953/komnas-ham-tetapkan-kasus-paniai-sebagai-pelanggaran-ham-berat).
Sebagai respon atas kondisi itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, yang telah dinaikkan ke tingkat penyidikan akan diproses sesuai undang-undang yang berlaku. “Seperti telah diumumkan oleh Jaksa Agung, pada saat ini kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang disampaikan oleh Komnas Ham kepada pemerintah di Paniai, Papua, oleh Jaksa Agung sudah dinaikkan ke tingkat penyidikan dengan menunjuk 22 jaksa. Jadi ini nanti akan proses sesuai undang-undang yang berlaku,” kata Mahfud (Baca : https://nasional.tempo.co/read/1307953/komnas-ham-tetapkan-kasus-paniai-sebagai-pelanggaran-ham-berat).
Mengingat proses penyidikan akan dilakukan mengunakan ketentuan Pasal 22, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maka perlu diktehui mekanisme penyidikannya sebagai berikut :
Untuk diketahui bahwa Penyidikan ini wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
Selanjutnya dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Apabila Dalam hal jangka waktu tersebut habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Dalam jangka waktu 240 hari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.
Dalam hal penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terlepas dari mekanisme penyidikan diatas, mengingat adanya ketentuan “Dalam pelaksanaan tugas Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat dan Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; d. sehat jasmani dan rohani; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (3) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maka diharapkan dalam Tim Penyidik yang berjumlah 22 Orang itu wajib ada unsur pemerintah dan atau masyarakat dari kalangan Akademisi, Lembaga Swadaya dan Orang Asli Papua yang dijadikan anggota Penyidik Ad Hoc yang diangkat menjadi Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014 dalam rangka menciptakan profesionalisme dan independensi dalam melakukan penyidikan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014 ini.
Dengan berpegang pada keterangan Menko Polhukam terkait diproses sesuai undang-undang yang berlaku maka tentunya Undang Undang yang dimaksudkan adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Apabila prosesnya mengikuti ketentuan tersebut maka tempat untuk mengadili Perkara Dugaan Pelanggaran HAM Berat Paniai berdarah ini akan dilakukan di Pengadilan HAM Makasar sesuai dengan ketentuan “Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di: Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya sebagaimana diatur pada Pasal 45 ayat (2) huruf c, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia serta khususnya Pengadilan Hak Asasi Manusia bagi wilayah Propinsi Papua dan Papua Barat telah ada ketentuan “Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakannya, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebagaimana diatur pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Atas dasar itu, untuk mendukung niat baik Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang telah membentuk Tim Penyidik dalam tubuh Kejaksaan Agung Republik Inonesia serta pernyataan Menko Polhukam terkait diproses sesuai undang-undang maka diharapkan Presiden Republik Indonesia dapat mengeluarkan Keputusan Presiden Tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Papua agar proses penuntutan terhadap kasus Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014 dapat dilakukan di Lingkungan Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura sesuai perintah Pasal 45 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Berdasarkan uaraian diatas maka Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) mengunakan kewenangan terkait “Setiap orang, kelompok, organisasi politik,organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,dan pemajuanhak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada :
1. Presiden Republik Indonesia segera terbitkan Keputusan Presiden Tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Papua sesuai perintah Pasal 45 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021;
2. Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera angkat anggota Penyidik Ad Hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat khususnya kalangan Akademisi, Lembaga Swadaya dan Orang Asli Papua dalam Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014 sesuai perintah Pasal 21 ayat (3) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
3. Ketua Komnas HAM RI Pusat dan Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua wajib memantau profesionalisme Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014 dalam menjalankan proses penyidikan sesuai ketentuan Pasal 22, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
4. Gubernur Propinsi Papua dan Papua Barat serta Ketua DPRP segera mendesak Pembentukan Pengadilan HAM di Papua dan pelibatan penyidik Ad Hoc dalam Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 8 Desember 2021
Hormat Kami
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA
Emanuel Gobay, S.H.,MH
(Direktur)
Narahubung :
082199507613