MEMOAR – Senin, 15 Desember 2025, pukul 19.02, saya baru sampai di KediAMan Indonesia Art Movement untuk menyaksikan pemutaran kompilasi film pendek yang akan ditayangkan dengan nama program “Layar Tumbuh Papua”. Saya turun perlahan dengan langkah santai ke rumah putih yang hampir menempel pada Tugu Theys Eluay. Dari jalan utama saya turun dari ojek, jarak hanya 35 meter, turun bukit sedikit dan sampai.
Lampu sorot dalam beberapa warna sudah menghiasi panggung yang hampir sederhana sudah menampilkan layar kuning bertuliskan “Layar Tumbuh Papua” dengan warna hitam. Kursi karet berwarna biru tersedia di samping tikar dan tenda coklat sudah dialas di atas lantai semen yang sering jadi panggung dencer, teater dan musik.
Layar Tumbuh Papua, program Indonesia Art Movement Papua bersama 15 kota lain di Indonesia, yakni kota Tidore, Ambon, Bandung, Jayapura, Jember, Sintang, Banyuwangi, Maumere, Banyumas, Lampung, Bali, Cilacap, Jakarta, Banjarmasin, dan Solo. Kerja sama ini untuk menjembatani cerita-cerita dari seluruh Indonesia pada ruang yang lebih luas, salah satunya ruang di Tanah Papua.
Saya menyorot ruang terbuka yang sudah siap menjadi momen diskusi film malam ini, para seniman film dan sineas-sineas Papua akan bercerita tentang pengalaman mereka dengan film yang mereka kerjakan selama beberapa bulan bahkan tahun. Arnold C. Ap (1984) pada mural pada tembok rumah Indonesia Art Movement seakan sedang bernyanyi sebelum diskusi film dimulai.
Mural yang dilukis seniman Julio itu terlihat jelas dari jauh sementara saya melangkah perlahan, wajah pada mural memancarkan senyuman khas seorang seniman dan antropolog pertama Tanah Papua yang selalu memberi spirit pada para seniman di Tanah Papua untuk tetap berkarya untuk hidup, seperti kata Arnold C. Ap, “Bernyanyi untuk Hidup.”
Lagu-lagu Mambesak yang diputar Saldi dari area kontrol utama suara dan lampu terlihat menyambut orang-orang yang datang satu per satu. Beberapa menit saya duduk sendiri untuk menikmati alunan lagu Mambesak dalam kesunyian saya, ini seperti menegaskan kesehatan kebatinan yang sulit dijelaskan pada wanita melayu, lahir besar Papua_yang diam-diam saya suka.
Setiap kali saya berkunjung ke KediAMan Indonesia Art Movement, selalu ada hal yang menyenangkan, seperti pertunjukan mural, musik, dancer, teater, film, dan seni rupa, semua itu tidak hanya menjadi hiburan tetapi menjadi pengetahuan tentang manusia.
“Layar Tumbuh Papua” nama ini sesuai dengan harapan para pelaku perfilman di Tanah Papua seperti kaka Iam Murda, kaka Theogracia Rumansara, kaka Miki Yuka, dan kaka lainnya yang saya lihat sangat semangat dalam diskusi film dan produksi film tentang isu-isu Papua terkini, salah satunya film “Anaktana.”
“Kita tidak bisa menunggu Pemerintah Daerah Papua bantu baru kita bergerak, minta dulu, tidak bisa, kita harus bergerak dulu, nanti rezeki itu akan mengikutinya. Kami bangun Indonesia Art Movement dari nol, belum ada apa-apa,” jelas kaka Iam Murda, selaku Produsen Film dan Dosen ISBI Tanah Papua dalam closing statement di pengunjung acara.
Dalam film “Anaktana” pesan yang saya tangkap adalah tentang kerusakan lingkungan di Papua, adanya investasi perusahaan besar membuat alam murka terhadap manusia yang jual beli tanah. Tidak hanya pada manusia saja tetapi terjadi pada banyak kehidupan.
Misalnya gambaran dalam film “Dihapus Dari Peta”, pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) alias mereka sebut dalam film burung besar_menelan ruang bermain anak-anak kampung, dan mengubah ruang ekonomi menjadi transaksi ekonomi kota yang perlu banyak kompetitif di ruang kota-kota besar.
“Film Anaktana ini akan diputar di Prancis. Saya pikir untuk motivasinya, kita anak-anak Papua sebenarnya bisa, hanya saja kita tidak ingin coba. Dan saya memulai dari percobaan seperti itu, akhirnya saya bisa produksi film panjang satu dan empat film pendek,” jelas Theogracia Rumansara, sutradara film Anaktana dalam sesi akhir sebagai closing statement.
Saya pikir kita semua setuju soal budaya lisan pada masyarakat tradisional Papua. Sehingga, Miki Yuka, selaku dokumenteris dan pelaku budaya, percaya film dokumenter sebagai salah satu cara untuk mendokumentasikan budaya Papua hari ini untuk generasi nanti agar bisa dipelajari kemudian hari, seperti film yang ia produksi dengan judul “Warekma.”
Saya melihat “Layar Tumbuh Papua” sebagai salah satu wadah semangat yang membutuhkan energi kolektif dalam kerja komunitas di Jayapura, Papua; mungkin juga bisa mendorong infrastruktur dalam peningkatan minat masyarakat Papua pada dunia film.
Semangat relasi dalam komunikasi yang intens bisa menjadi sesuatu yang kuat untuk menghasilkan sesuatu yang lebih besar untuk Tanah Papua di mata dunia.
Misalnya dengan program festival film yang rencananya akan digelar pada tahun 2026 oleh Indonesia Art Movement bersama beberapa komunitas dan rencana program produksi film dengan durasi 90 menit tentang musik di Papua bersama sutradara Indonesia yang sudah dikenal dunia, Garin Nugroho, akan menjadi sesuatu yang membanggakan.
“Itu momen yang tepat untuk kita belajar tentang film, karena Garin Nugroho pasti melihat SDM di Papua cukup,” jelas kaka Iam Murda dengan rasa percaya diri.
“Saya tidak bisa janji sekarang untuk membantu, tetapi saya ingin mengatakan begini, kita tetap menjadi teman ngopi sambil diskusi. Saya kalau tidak ada kegiatan di luar kantor, saya selalu di kantor, boleh datang saja, kita bisa diskusi di sana. Siapapun? Kapanpun?” jelas Gerd Maury, selaku Kepala Seksi Ekonomi Kreatif Basis Media Provinsi Papua dalam sesi closing statement di penghujung acara.
Dalam film “Black Passenger” saya melihat seperti iklan layanan tiket Pelni untuk masyarakat kota, saya tidak mampu melihat pesan moral yang kuat dalam film ini, ada sedikit yang saya lihat ketika seorang ibu hamil minta tolong saat mereka harus lari cepat, menghindari petugas kapal karena mereka pelarian tanpa tiket, tetapi salah satu dari mereka tetap membantu ibu yang hamil.
Dua temanya lari, salah satunya tetap membantu walaupun ada kalimat yang membuat ragu, “Itu perempuan Amber, jangan bantu, ayo tong jalan, potem nanti petugas tiket datang.” Nilai kemanusiaan tidak akan mampu dibatasi oleh perbedaan apa pun manusia karena sejak zaman kuno hingga modern ini, manusia bertahan hidup dengan cara saling menolong satu sama lain.
Dalam film “Pelabuhan Berkabut” pesan disampaikan secara simbolis. Saya melihat film ini menampilkan kondisi pencemaran merkuri pada ikan-ikan yang terlihat segar di wilayah pelabuhan kota. Dan ikan-ikan yang sehat dibawa oleh perusahaan besar untuk dikirim keluar kota untuk menjadikannya sebagai nilai ekonomis. Masyarakat lokal hanya bisa menikmati ikan yang sudah tidak sehat, tercemar limbah dari perusahaan tambang dan kapal-kapal besar yang beroperasi.
Sambil nonton film “Dengarlah Nyanyian Ping Pong” saya teringat pada anak-anak jalanan di Papua, terlihat orang tua di Papua tidak banyak yang duduk di rumah untuk mengajak anak-anak menjadi teman diskusi, sehingga anak merasa nyaman berada di rumah. Berbeda ketika rumah dipenuhi masalah, kedua orang tuanya selalu dalam masalah.
Setiap saat rumah sunyi dari keluarga yang seharusnya banyak bercerita tentang kehidupan. Film ini menampilkan keluarga yang buruk, sehingga cenderung membuat anak berada dalam kondisi mental yang goyang dan mudah terpengaruh dengan kehidupan sosial yang buruk.
Rasanya tidak cukup untuk diskusi tentang film dengan waktu yang sudah 22.40. Pasti akan ada waktu lain dari teman-teman Indonesia Art Movement yang selalu bekerja apa adanya untuk menghidupkan ekosistem perfilman di Tanah Papua dengan isu yang beragam.
Bagi saya sebagai awam tentang dunia perfilman atau kesenian lainnya melihat KediAMan Indonesia Art Movement sebagai kampus yang gratis: saya menikmati dan saya belajar dari cerita para pelaku kesenian yang saya ketemu secara langsung pada individu maupun kelompok.
Kaka Iam Murda selalu menyambut saya seperti teman sutradara atau produser di setiap acara, padahal saya hanya ikut ramai sebagai penikmat seni, tetapi ini persahabatan yang dalam, dari hati. Saya tidak pernah membayangkan seorang dosen ISBI sekaligus seniman film yang memiliki pengetahuan tentang film yang luas yang sangat baik, tidak pelit ilmu dan selalu welcome untuk diskusi dengan siapapun.
“Mungkin dari Nomen ada pertanyaan?” sebut kaka Iam Murda dalam sesi menunggu pertanyaan terkait film yang sudah didiskusikan. Tiba-tiba saya panik untuk bertanya.
“Mungkin bisa bercerita respons film ‘Anaktana’ saat diputar di JAFF Film Festival?”
“Responsnya sangat positif, apalagi saat ini kan sedang ramai isu tentang deforestasi terjadi di mana-mana. Sehingga film ‘Anaktana’ ini juga diminta untuk diputar di Prancis nanti,” balas kaka Iam Murda dan kaka Theogracia Rumansara.
(Nomen Douw)