Share

Oleh: Epan Petege

CERPEN: Pukul 21 : 00 malam, sa de diminta oleh mama untuk beli sate di Ampera, tempat pusat bisnis di kota Jayapura. Namanya Ampera, ya! Ampera adalah salah satu pusat perbelanjaan yang paling lama di kota ini, di sini banyak sekali jenis-jenis usaha barang atau jasa yang dagangkan: mulai dari alat-alat elektronik , pakaian, alat-alat keperluan sekolah, hingga makanan siap saji dan makanan olahan.

Salah satu usaha yang didagangkan dan selalu ramai pembelinya adalah sate daging ayam yang didagangkan oleh para pedagang asli pulau Jawa, dari luar Papua yang telah lama datang dan merantau di tempat ini.

“Obeth!, mama punya noken tadi orang beli dan ada laku satu jadi, ko bantu mama pergi beli sate ayam ee!, untuk tong makan di rumah sebentar,”sambil menerima uang yang dikasih mama ke sa.

“Oke, mama,”sambil berjalan ke motor yang sa parkir tadi di parkiran pas awal sa datang.

Sa kas menyala motor, menuju tempat yang sa tuju yaitu Ampera, yang terletak di Jalan Ahmad Yani. Jarak dari sa mace tempat jualan ke tempat ini tidak terlalu jauh hanya memakan waktu 5 menit deng ditempu menggunakan kendaraan. Kalua ditempu deng Jalka (jalan kaki) bisa sampe 10 menit. Sebenarnya bisa cepat tergantung langkah kaki yang lincah seperti atlet jalan cepat atau tidak?!.

Setelah sa sampe di Ampera, sa melihat banyak sekali penjual sate ayam yang telah memarkirkan gerobaknya dong di pinggir badan jalan raya Ahmad Yani yang tertata rapi macam parkiran kederaan di pagi dan siang hari, sambil dong semua berdiri di depan gerobaknya masing-masing dan menawarkan dagangan mereka ke Masyarakat yang lewat; ada yang lewat deng jalan kaki, ada juga yang menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.

Ketika sa setelah dekat dan parkir motor samping gerobak pade langganan sa. Padee ini, de nama sule. Pade de sudah jualan lama sekali dan biasa jualan deng istrinya yang sy biasa panggil bude, karena dong dua pu usia sudah lanjut usia di atas 50-an tahun. Pade sule dan istrinya adalah langganan dekat sa sejak lama. Kalau sudah jam 21: 00 malam, pade de dan teman-temannya biasanya dorong gerobak mereka ke depan jalan dari dalam (tempat awal yang biasa dong jualan dan buka dari sore hari). Aktivitas ini dong selalu lakukan setiap hari saat waktu sudah menuju jam 21 : 00 malam.

“Hello Mas Broow!!, ko mau beli sate ka?”, salam Pade ke sa sambil pade de membalikkan puluhan tusuk sate di atas bara api dan lanjut de cakar-cakar bara api agar merata.

“Io pade, sa beli satu satu porsi tapi tra pake lontong seperti biasa, masak baik-baik e dan kas masak skali”, balas sa deng nada reggae.

“Ok! Mas Brooo, ditunggu ya dan silahkan duduk di kursi,” ajak pade.

“Baik pade,”balas sa sambil duduk di kursi plastic warna hitam di atur di sebalah kiri gerobak dan menghadap ke arah jalan raya Ahmad Yani di malam hari.

Disaat pade de menggambil, memasak dan membalikkan sate daging ayam yang telah dibumbui sebelum di taruh di bara api, aroma bumbu itu keluar dan menimbulkan aroma yang enak dan keluar bersamaan deng asap yang tebal, sioo! aroma yang menggangu sa pu otak dan perut yang babuyi dan baku demo di dalam. Saat itu, sa mengamati ketekunan dan ketelitian pade sule dalam memasak. Usaha ini, pade sule de su tekun sejak puluhan tahun di jantung kota ini, kota Jayapura.

Sambil menunggu sate dimasak, beberapa menit berlalu sambil sa mengamati aktivitas kendaraan yang bergerak cepat. Ditenggah itu, sa mendegar bunyi peluit yang tiup (dibunyikan) deng suara nyaring yang ditiup keras. Suara peluit itu memecah keheningan sa di malam hari itu di pinggir badan jalan Ahmad Yani. Sa mengarahkan badan kearah kanan dan melihat 50 meter agak jauh kedepan, dari tempat sa duduk.

Terlihat sekelompok anak-anak kecil yang berjalan dari arah bawah ke arah atas (menuju ke sa tetapi dong di sebelah jalan). Dong ada lima orang yang masih bocil dan fisik badan yang agak kurus. Kira-kira dong lima usia rata-rata 7 tahun sampe 10 tahun, ya! terlihat dong lima seumuran anak sekolah di bangku SD (Sekolah Dasar). Dong lima jalan sama-sama, tiga orang bocil dong terlihat membawah karung besar yang dipikul dan karung yang dong bawah terlihat berisi barang, sa curiga dong pasti cari kaleng, seperti kaleng Fanta, kaleng Sprite, kaleng Cocola, dll.

Satunya de cerita untuk hibur teman-temannya yang lain dan satu orang terakhir ini, de yang pegang peluit dan ketika dong berlima jalan dan melihat kendaraan lewat depan dong lima (kendaraan roda dua, roda empat dan roda enam) bocil ini de tiup peluit sambil kas gerak de pu tangan, seperti gerakan tanggan tukang-tukang parkir pada umumnya.

Sa yang dari tadi duduk di kursi plastik berwarna hitam yang disediakan pade sambil terus amati tingkah laku dan aktivitas kelima bocil ini dari sebrang jalan. Sa ambil gawai di dalam noken anggrek yang sa selalu kenakan untuk melihat jam begini, jam di handphone, sudah 21 : 30 malam.

“Sa kaget!!, siooo ana-ana kecil ee, ini bukan waktu nya kam jalan dan beraktivitas tetapi di jam ini, kam sudah harus tidur sono, polo bantal dan bobo manis di rumah sana ee sama hal seperti anak-anak kecil seusia kam lainnya yang masih dalam kategori usia sekolah,”pikir sa sambil masih mengamati aktivitas bocil dong lima di sebelah jalan saya Ahmad Yani. Tetapi jujur, sa tra bisa salahkan dong berlima, tanpa sa tanya dong dan tau latar belakang keluarga kelima anak kecil ini.

Dengan peristiwa ini, sa jadi ingat dengan buku yang dibuat oleh kaka Riko Pekei, de pu judul buku : “Potret Anak Jalanan: Antara Kenyataan dan Harapan.” Di dalam buku ini, menyebutkan peristiwa di atas ini disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Juga di dalam buku ini, mengatakan anak jalanan masuk dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan anak jalanan diketegorikan menjadi dua kategori.
Pertama, anak-anak yang tinggal di rumah bersama orang tuanya dan selalu pulang ke rumah setiap hari setalah beraktivitas di jalanan.

Kedua, anak-anak yang melakukan aktivitas ekonomi dan tinggal di jalanan, tetapi masih mempertahankan hubungan dengan keluarga, meskipun hanya pulang secara berkala atau tidak memiliki jadwal pulang yang teratur.

Dengan sa melihat dan merefleksikan penjelasan di dalam buku ini, sa masih berat dalam menyimpulkan fenomena kelima bocil ini yang masih beraktivitas aktif sampai larut malam, apakah kelima bocil ini masuk dalam kedua kategori anak jalanan sesuai penjelasan buku di atas? Ataukah apa masuk dalam salah satu kategori anak jalan? Tetapi di sisi lain berdasarkan fakta fenomena anak jalan sudah ada sejak lama di kota ini, salah satu titiknya di Ampera.
Di Ampera mereka berprofesi sebagai juru parkir dan aktivitas lainnya yang mereka lakukan untuk bertahan hidup. Anak Jalan juga berada dititik lain selain di Ampera, seperti di Entrop dan titik-titik lainnya di Kota Jayapura. Sa pernah mendapat informasih dari media Cenderawasih Pos, Com dan media lainnya, bahwa anak jalanan di titik Ampera ini di asuh dan dibina oleh Mama Pdt. Naomi Selan dan Kawan-kawan melatih dan membina beberapa anak jalanan menjadi pelaku usaha dan berhasil salah satu usaha mereka saat itu menjual Kopi khas Papua dengan nama usaha kopinya “ Kitong Pu Kopi” dan berjualan di beberapa titik di Kota Jayapura, salah satu nya di parkiran motor depan Toko Ship yang sekarang berubah nama menjadi SIP Azana Hotel.

Mengamati aktivitas kelima bocil ini, bikin sa melewatkan 30-an menit berlalu dan sa dikagetkan dengan ucapan pade Sule.

“Mas Broo, sate nya sudah masak,”ucap pade Sule sembari sibuk membungkus sate daging ayam pesanan sa.

“Ok Pade, wanggi sekali aroma satenya pade,”balas saya sambil memuji sate yang sudah masak.

“Ini mas, satenya dan selamat menikmati,”ucap pade Sule sambil memberi satu bungkus sate daging ayam yang telah masak dan sudah diisi dalam kantung plastic hitam.

“Terimkasih banyak pade. Mari pade!!”pamit sa mengakhiri percakapan.

Bersambung…

Comments are closed.