MEMOAR PERJALANAN – Malam kedua datang dengan sesuatu yang saya masih melihat berbeda, masih sama dengan malam pertama yang saya sudah cerita kemarin, mungkin karena baru pertama kali ke kota Biak sehingga saya masih melihat kota Biak dengan mata yang berbeda dengan kota lain yang saya perna berkunjung.
Saya baru satu hari setelah tiba kemarin siang dari Jayapura. Di wilayah jalan Imam Bonjol masih terlihat tenang dengan udara yang cukup bersahabat dengan saya, tidak banyak polusi kendaraan yang saya hirup, beberapa masyarakat Biak santai menunggu dan melakukan aktivitas tanpa kepanikan di wajah mereka.
“Pagi,” sapaan saya dengan sedikit senyum.
“Pagi juga,” balas beberapa masyarakat Biak dengan senyum yang bahagia.
Kendaraan masih melintasi dengan pelan, tidak banyak suara kendaraan yang mengganggu ketenangan pagi, tidak banyak masyarakat Biak yang berjalan di jalan umum, mereka duduk dekat meja pinang dan di pangkalan ojek menunggu penumpan akan memanggil.
Pukul 19:00, rasanya malam datang tiba-tiba, beberapa toko sudah tutup, jalan sudah semakin sunyi dari aktivitas masyarakat Biak dari pagi tadi, hanya ada meja pinang dan satu kios di antara rumah-rumah yang diam tanpa angin dan hujan, sejuk dan santai.
Malam kedua saya minum americano kopi lagi di kafe yang malam pertama saya duduk dan banyar kopi dengan harga 35.000 itu. Malam kedua ini saya tidak makan ikan bakar di warung pakde seperti di malam pertama kemarin, sehingga di kafe kopi ini, saya pesan Soto Daging, Air Aqua dan kopi. Saya bawa buku”Misteri Agama dan Refleksi Filsafat” karya Louis Dupre yang diterjemahan oleh Ahmd Sahidah Rahem untuk saya baca setelah makan sambil minum kopi.
Saya hanya baca tiga halaman setelah makan sambil minum kopi, selebihnya saya hanya duduk main handphone (hp) hingga kembali ke hotel karena satu kelompok militer Indonesia dengan pakaian preman masuk dengan suara keras tertawa-tertawa sambil mereka diskusi di balik meja kafe yang saya duduk.
Mereka (militer indonesia) terlihat tidak mempedulikan aktivitas orang lain dalam kafe, arogan mereka terlihat seakan mereka sudah taklukan pulau Biak dengan manusianya. Mungkin karena mereka terlalu banyak di kota Biak ini, sehingga kota Biak terlihat tenang, damai dan sunyi, tapi itu hanya kemungkinan saya, belum tentu benar.
Jalan pulang, kendaraan hanya satu-satu, meja pinang dengan pelita di atas meja masih menyala seperti malam pertama, tidak ada anak-anak muda kompleks duduk minum alkohol depan jalan seperti di Nabire dan Jayapura, tidak ada masyarakat Biak dengan keadaan mabuk jalan oleng-oleng palang ojek dan masuk kios minta uang rokok.
Hari kedua, saya masih di wilayah jalan Imam Bojol, saya belum ketemu orang sedang miras berkelompok dan orang mabuk di pinggiran jalan atau depan rumah-rumah, padahal hari pertama saya ke Hadi Mart untuk beli peralatan mandi; membuka pintu masuk Hadi Mart langsung saya berhadapan mata dengan deretan minuman beralkohol yang tersusun rapi dalam rak.
Minuman di kota Biak relatif murah menurut Arif kalau mau dibandingkan dengan harga minuman di Nabire dan Jayapura, tapi orang yang mabuk lebih banyak orang yang tinggal di Nabire dan Jayapura. Walaupun minuman murah di kota Biak, hari kedua saya belum ketemu orang dalam keadaan mabuk atau sedang miras.
“Dari Imam Bojol ke Goa Jepang jauh ka, Mansar?” tanya saya pada bapak Rumaropen sambil kami jalan santai ke Swiss-Belhotel Cendrawasih.
“Itu saya punya tempat, dari Imam Bojol dekat saja. Naik ojek bayar 15.000,” jelas bapak Rumaropen dengan bangga.
Teman-teman yang pernah datang ke Biak selalu sebut”Goa Jepang” tapi ternyata tidak hanya Goa Jepang saja tapi ada Monumen Perang Dunia II dan Tugu Pepera yang saya baru tahu. Saya akan berkunjung ke tempat-tempat sejarah itu, dan saya berkunjung ke Goa Jepang lebih dulu karena lebih dekat dengan jalan Imam Bojol.
Depan hotel Swiss-Belhotel Cendrawasih saya menunggu ojek masyarakat Biak supaya saya bisa ajak cerita tentang Goa Jepang dan cerita sejarah lain tentang Biak. Langit Biak sedikit mendung, tapi saya tetap pergi dengan ojek rompi hijau menyala yang dia menggaku Napi Biak setelah saya tanya. Saya ragu dia Napi Biak dari cara dia berbicara, tidak menunjukkan dari logat bahasa.
Kami dua sampai di Goa Jepang di Kampung Binsai setelah melewati pintu angin, wilayah marga Rumbinho, katanya. Pintu pagar masuk wisata Goa Jepang sudah ditutup dengan gembok dan sunyi, seorang mama dan anak laki-laki muncul depan pintu pagar untuk membuka pintu pagar yang sudah di kunci dengan rantai besi.
Sebelah kiri dari pintu masuk Goa Jepang, saya melihat tulisan besar yang mencolok mata dari jauh”Jual Minyak Bungkus Asli” ditulis pada poster warna putih dengan tulisan warna biru dan merah. Waktu tidak cukup untuk bisa melihat semua peninggalan tentara Jepang di kampung Binsai.
Ada beberapa bekas alat perang yang saya lihat, seperti Pistol type 26, Arisaka type 99, Submachine guns, Heavy Machine gun, bekas jenis bom Tenshi, Mortil-mortil, Helm, Mobil anti peluru dan Pesawat Mitsubishi A6M Zero. Semuanya tidak aktif, digunakan hanya sebagai nilai sejarah saja.
”Siska!” panggil anak yang datang dengan seorang ibu untuk membukakan pintu.
Siska muncul dengan pakaian putih di antara tembok tua Jepang. Saya tidak melihat wajah Siska dengan baik, tapi saya rasa, Siska bukan Siska. Saat pulang, saya dan Napi Biak harus bayar karena saat masuk belum sempat untuk bayar. Di bawa gedung tua Jepang, Siska seperti sedang potong sayur, tapi sepertinya bukan sayur. Siapa Siska itu? saya akan cerita dalam cerita fiksi.
“Satu orang 25.000,” jelas mama yang tadi membukakan pintu dengan anaknya setelah saya tulis nama, alamat dan tanda tangan di kolom akhir. Saya bayar kami dua dengan uang 100.000, kembali 50.000, saya bayar ojek yang temani saya dari kota hingga berkeliling dalam Goa Jepang.
“Wilayah ini marga Rumaropen punya, dong punya kampung,” jelas Napi Biak di atas motor sambil turung gunung melewati pintu angin yang bisa melihat sebagian besar kota Biak.
“Baru ko punya kampung di mana?” tanya saya memastikan, apakah benar dia Napi Biak atau jangan-jangan dia tipu saya supaya dapat penumpang.
“Di Yapen,” balas dengan suara yang berat, dia mungkin tahu kalau dia tipu saya dengan mengaku sebagai Napi Biak. Dia tiba-tiba diam tapi saya ajak cerita.
Setelah jauh dari kampung Binsai, kami dua lewat pinggiran Bandar Udara Frans Kaisepo. Pria kurus hitam bertopi Beanie Hat asal Yapen itu menggantar saya pulang ke hotel Dahlia.
Ketika malam di jalan Imam Bonjol, Day itu tegur saya untuk bisa ojek lagi, tapi saya tolak karena dia tidak jujur sebagai manusia, dan saya juga sebagai manusia yang butuh cerita yang benar walaupun sedikit dalam waktu yang singkat di Biak.
Udara di kota Biak tidak jauh bedah dengan Nabire dan Jayapura. Pukul 08:20, saya di bawa terik matahari yang sedikit panas, kami berjalan kaki keluar ke Swiss-Belhotel Cendrawasih dari hotel Dahlia, jarak hanya 100 meter. Sepanjang jalan, saya masih berpikir tentang kota yang tenang, bersih_ yang menggugah jiwa saya dan itu saya sudah cerita di hari pertama saya sampai di Biak.
Pukul 06:00, jalan sangat sunyi, tidak seperti di Nabire dan Jayapura_yang pagi kadang sudah ramai, kadang kita masih melihat orang mabuk tidur di jalan dan ribut-ribut di ruas jalan. Wajar saya bertanya-tanya dan melihat sesuatu yang berbeda di kota Biak karena saya hidup di kota yang banyak orang miras di komplek dan rumah.
“Orang-orang yang suka miras di Nabire dan Jayapura harus studi banding ke Masyarakat Biak di Kota Biak,” pikir saya, dan akhirnya saya bicara ke Insos Mayor di kafe kopi di samping Swiss-Belhotel Cendrawasih.
“Keuangan Pemerintahan Biak Numfor lagi kacau jadi uang tidak beredar bagus, jadi orang-orang sudah tidak miras lagi,” balas Insos Mayor sambil senyum kecil.
“Tapi, bagus e…tidak ada kejahatan yang muncul seperti yang terjadi di Wamena, Nabire dan Jayapura,” balas saya mengakui masyarakat Biak bisa bertahan dalam kondisi krisis uang.
“Mungkin bagusnya karena itu saja sementara, kalau soal mabuk, masyarakat Biak juga suka miras, tapi sepertinya tidak banyak yang ribut, kebanyakan mabuk untuk tidur, kecuali ada orang yang ganggu mereka, itu baru kadang ribut,” jelas Insos Mayor setelah saya kagum dengan cara mabuk masyarakat Biak. Saya belum ketemu orang mabuk hingga hari kedua di kota Biak, di wilayah jalan Imam Bojol.
(Cerita bersambung hari ketiga saya di Biak)