MEMOAR PERJALANAN – Kami sudah duduk dalam pesawat Lion Air menuju kota Biak yang belum pernah saya injak sekalipun. Saya hanya sering mendengar orang-orang bicara tentang Daun Bungkus, Amroben, Insos, Goa Jepang, dan keindahan pantainya. Okey, saya akan bertemu dan melihat semua itu dengan mata kepala sendiri. Apakah benar kata mereka? Mari ikuti dan lihat apa yang saya lihat dan temui di kota Biak selama 4 hari.
Setelah handphone saya buat dalam mode pesawat, saya mengeluarkan buku sampul kuning berjudul “Surau Kami” (kumpulan cerpen) karya A.A. Nawis. Saya membaca dua cerpen terakhir dalam satu jam di atas udara Papua menuju Biak. Cerpen terakhir selesai tepat ketika pesawat Lion Air mencakar landasan Bandar Udara Frans Kaisepo. Saya tidak melihat Pulau Biak dari atas udara karena duduk di kursi 20D, agak jauh dari jendela.
Kami bergegas turun dari perut besi itu. Dari pintu pesawat saya melihat daratan Biak. Tidak ada gedung tinggi yang gagah terlihat dari jauh, hanya sedikit gunung buram hijau di kejauhan. Tulisan “Frans Kaisepo” berwarna oranye dan putih pada gedung bandara menyambut kami memasuki kota Biak.
Satu pesawat Boeing sudah memarkir lebih dulu sebelum kami ikut memarkir di terminal. Bandar Udara Frans Kaisepo cukup tenang menyambut penumpang yang datang dan pergi. Tidak banyak petugas bagasi yang kejar waktu demi berkat untuk kehidupan keluarga mereka—tidak seperti Bandar Udara Sentani Jayapura. Dan tidak seperti Bandar Udara Nabire yang selalu ada pesawat Caravan dan helikopter mendarat dan terbang.
Kami masuk ruang tunggu bagasi. Saya langsung melihat beberapa orang yang baru turun sedang foto bergantian di depan tulisan “Welcome To Biak”. Sekitar 50-an penumpang yang baru turun sedang menunggu bagasi, termasuk kami. Para porter dengan baju kerja mereka terlihat tenang dan santai melihat kami memanggil. Kami keluar dari gedung bandara dengan bagasi.
“Ko asal mana?” tegur pria gemuk dan tinggi dengan suara bass sambil mengulurkan tangan untuk salam. Usianya kira-kira 59 tahun.
“Paniai, tapi tinggal di Nabire,” balas saya singkat sambil melirik teman-teman yang sedang menunggu jemputan. Saya harus bilang Paniai karena orang Biak lebih tahu Paniai atau Wissel Meren ketimbang Suku Mee atau Ekari.
“Saya juga pernah tinggal di Nabire, di Mapidoba,” balasnya cepat dengan sedikit senyum. Rupanya dia bisa lihat dari wajah kalau saya Suku Mee.
“Itu suku dong banyak situ, kaka. Oke kaka, tulis sa nomor sudah, nanti kontak-kontak,” ucap saya setelah melihat teman-teman bergegas naik mobil yang sudah datang.
Menuju Swiss-Belhotel Cendrawasih, saya tidak melakukan aktivitas lain selain memperhatikan ruas jalan dan perumahan masyarakat Biak dari dalam mobil. Ruas jalan dan rumah-rumah tua terlihat tenang, dihuni masyarakat Biak. Tidak banyak aktivitas di jalan umum—tidak seperti Nabire dan Jayapura yang banyak masyarakat beraktivitas dengan wajah gelisah tanpa tujuan.
Saya melihat dan merasakan hal yang berbeda di Pulau Biak. Saya lihat masyarakatnya masih menghormati nilai-nilai sejarah; banyak rumah peninggalan Belanda masih digunakan. Tidak ada rumah-rumah baru yang besar sedang dibangun, seakan kota Biak tidak perlu dibangun lagi.
Swiss-Belhotel Cendrawasih berada di Jalan Imam Bonjol (nama pahlawan Indonesia yang dijadikan nama jalan di pusat kota Biak). Melihat ruas Jalan Imam Bonjol membuat saya merasa seperti berada di ruas jalan Bali. Bola beton dan trotoar terlihat sama dengan beberapa kota di luar Papua; bersih, rapi, dan tenang. Saya tidak melihat masyarakat Biak duduk di ruang umum hanya untuk duduk saja. Ada beberapa, tapi hanya di pangkalan ojek dan petugas parkir di depan Hadi Mart. Saya merasakan masyarakat Biak sedang menjaga sejarah dengan tenang, dalam gelombang tekanan jiwa yang hebat.
Kami sampai di mulut Swiss-Belhotel Cendrawasih. Kiri-kanan ada dua patung singa membuka mulut, seperti patung di Bali. Lurus pintu masuk ada perahu tradisional masyarakat Biak yang mereka sebut “Wairon” (perahu besar) dan “Waimansusu” (perahu kecil).
Belum lama kami duduk di lobi hotel, datang satu bus biru menurunkan turis Jepang, sekitar 30-an orang, rata-rata berusia 30–60 tahun. Mungkin mereka datang ke Biak untuk mengunjungi peninggalan tentara Jepang; mungkin mereka keturunan para tentara yang mati melawan Sekutu pada Perang Dunia II tahun 1944–1945 di Biak.
Swiss-Belhotel Cendrawasih dan Hadi Mart saling berhadapan di jantung kota Biak, di Jalan Imam Bonjol. Saya jadi ingat Hadi Mart dan Bank Papua Nabire di Jalan Yos Sudarso—di Nabire tidak rapi, ribut, banyak sampah, dan banyak anak-anak duduk tanpa tujuan. Di Hadi Mart Biak, saya hanya melihat satu pemuda yang menjaga parkiran keluar-masuk; tidak ada anak muda duduk sembarangan tempat.
“Ko Napi ka?” tanya saya pada petugas yang sedang membersihkan restoran hotel.
“Iyo, kaka,” jawab petugas Napi sambil tersenyum hormat sebagai pelayan hotel pada umumnya.
Beberapa toko, hotel, dan warung makan saya lihat ada pemuda-pemudi asal Biak bekerja menjadi karyawan. Tetapi tetap mayoritas non-Papua yang menjadi pelaku ekonomi. Maksud saya, ini bukan soal baik atau buruk, karena setiap manusia punya proses hidup yang berbeda dalam sejarah masing-masing.
Sore menjelang malam, ruas jalan panjang Imam Bonjol terlihat indah dibawa cahaya sore tanpa sampah plastik, trotoar rapi, lampu jalan menyala, dan bangku taman logam menunggu orang untuk santai. Saya merasa benar-benar seperti berada di luar Papua, bukan di Biak. Tampak restoran 99 terlihat elit di seberang jalan, depan restoran yang saya pikir kafe karena bentuknya seperti kafe-kafe di Bali yang dibuat sederhana dengan kayu-kayu buah dan banyak pot bunga yang diletakkan di banyak sudut.
Malam pertama di Biak tiba. Setelah mandi, sekitar pukul 19.12, kami keluar makan ikan bakar di sebelah Hotel Dahlia tempat kami menginap. Sebelum sampai di Biak, teman-teman sudah merencanakan makan ikan bakar. Menurut mereka, ikan-ikan di Biak segar dan enak. Warung milik pakde terlihat sederhana dan tidak besar—hanya bisa menampung 12 orang, bisa lebih kalau beberapa mau duduk di depan warung.
Setelah kami memilih ikan di dalam kotak gabus, kami menunggu ikan dibakar. Aroma sambal yang menyentuh daging ikan membuat lambung ikut bunyi-bunyi, apalagi saya belum makan sejak pagi karena waktu makan dibatasi perjalanan dari Jayapura ke Biak. Wilayah perumahan dekat warung begitu tenang. Lampu-lampu rumah, toko, dan kantor saling menonton dalam diam yang sunyi.
Tidak ada anak-anak kecil berlari dengan suara keras, tidak ada orang teriak-teriak karena miras, tidak ada orang membawa motor sambil main gas supaya terlihat jago. Saya merasa jiwa begitu tenang menyambut ikan bakar segar yang sebentar lagi duduk di depan saya dan masuk ke perut menjadi kotoran yang busuk.
Setelah makan ikan bakar dalam suasana yang tenang dan nikmat dengan sambal tiga rasa yang cocok dengan ikan, kami kembali istirahat untuk persiapan kegiatan besok pagi. Tetapi bagi saya, belum bisa istirahat sebelum minum kopi. Saya berjalan keluar dari Hotel Dahlia mencari kafe. Tidak jauh dari hotel, hanya sekitar 50 meter.
Kafe itu berkaca hitam-hitam, cahaya lampu pijar terlihat dari dalam—lampu yang sering digunakan banyak kafe. Saya masuk. Banyak botol minuman alkohol diletakkan di atas meja bar dekat plafon. Saya hampir mengira itu club malam; dari luar kafe, dari dalam club malam. Tetapi ternyata tidak, hanya pajangan.
“Manual brew bisa?” Ia tidak dengar, tapi saya lihat dia tidak mengerti karena tampak mencari kata untuk balas.
“Americano double,” lanjut saya.
“Oke kaka, siap,” jawab pria kurus bertato peta Papua di lengan kanan. Dari cara berbicara, dia lahir besar di Papua, tapi fisiknya seperti orang Ambon atau blasteran Papua– Non Papua.
Sudah pukul 22.11 ketika saya kembali ke Hotel Dahlia setelah membayar secangkir americano seharga 30.000. Jalan pulang sangat sunyi. Hanya cahaya lampu di antara pepohonan hijau, energi yang damai dan tenang terasa aman. Ada satu meja pinang dengan pelita, dijaga seorang pemuda Biak sambil makan pinang dan merokok. Ia menyapa saya dengan senyum dan saya membalasnya. Masyarakat Biak seperti masyarakat Bali: pola pikir mereka adalah masyarakat wisata; mereka tersenyum pada orang baru, apa pun yang kita tanya mereka jawab dengan jujur, bahkan akan mengantar jika kita butuh.
Akhirnya saya sampai di kamar hotel nomor 11 yang saya bayar 350.000 per malam. Kamarnya hanya satu tempat tidur yang bautnya sudah bunyi-bunyi seperti suara tikus terjebak, jadi kalau mau baku naik harus pindah di atas lantai supaya tempat tidur tetap aman. Tetapi sayangnya, saya tidak punya istri atau pacar. Saya hanya bisa memeluk dua bantal kepala dan satu bantal polo, lalu membayangkan tubuh dan wajah Insos.
Televisi menyala di atas lemari putih yang pintunya langsung lepas ketika saya buka karena sudah rusak. Saya hanya menyalakan televisi sebagai lampu tidur. Setelah sikat gigi, saya tidur untuk bangun besok pagi menjalani kegiatan di Swiss-Belhotel Cendrawasih.
(Cerita bersambung di hari kedua)