Share

CERPEN – Terasa berbeda hidup di kota yang mulai dibangun manusia-manusia bule pada tahun 1616. Satu bulan hanya dalam rumah gelap, tanpa cahaya listrik, cahaya matahari, dan cahaya bulan. Sa terisolasi dalam pikiran—makan, minum, berak, dan kencing hanya dalam rumah tanpa pintu dan jendela. Gelap menutupi mata, telinga, dan rasa.

Sesekali cahaya datang ketika layar televisi memberitakan berita nasional Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia tentang perang Timur Tengah (Arab Spring) dan Perang Pasifik (Papua Spring). Layar akan aktif sendiri seperti robot pintar dengan kecerdasan buatan (AI).

Hampir dua bulan lebih sa diikat pikiran. Sa hanya mampu menyaksikan berita dari saluran nasional Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia tentang perang. Waktu yang lama dalam rumah yang gelap seperti penjara yang mematikan, Gitarama Prison di Negara Rwanda. Bagi manusia yang suka pergi dari rumah, gelisa akan membunuhnya, apalagi penjara isolasi—tidak perlu dengan tima panas Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia. Jo

Lupa pintu dan jendela untuk cahaya dan suara yang harus masuk sekadar hanya menghibur mata, telinga, dan jiwa. Sesuatu yang aneh telah menutupi semua yang bercahaya, bersuara, dan rasa. Hidup telah berubah, dari yang serba ada menjadi kosong, hampa, sunyi, dan kering.

Rumah seperti telah berpindah planet yang jauh dari manusia. Rasanya sa sedang ada di dunia yang berbeda, tidak di bumi. Dunia berlari kembali seperti mesin monster dalam film fiksi ilmiah. Waktu berhenti pada titik satu abab yang telah berlalu. Tidak ada jejak kaki dan suara manusia yang datang mengetuk pintu, jendela, dan dinding rumah.

Gambaran umum ketika manusia saling makan karena politik menjadi alasan mempertahankan kehidupan di bumi—itu menjadi realita setelah alam menjadi modern; nilai budaya, agama, dan sosial ditelan uang. Setiap hari sa hanya menikmati berita nasional tentang perang dan perang. Hidup telah menjadi perang, seakan manusia-manusia bisa hidup jika mampu berperang dan meraih kemenangan.

Saluran berita nasional Indonesia nampak di sa mata, pada layar televisi yang menempel pada tembok gelap rumah. Nampak Panglima TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel, Brigjend Lamek Alipky Taplo, bersama tiga anggotanya di Kiwirok pada Minggu 2025. Katanya, menurut media nasional Indonesia, mereka teroris yang dihabisi dengan cara bom dari pesawat nirawak drone militer Indonesia.

Persis isi berita Democracy Now: operasi teroris menggunakan drone di Timur Tengah oleh Amerika Serikat (AS), yang dibongkar oleh Daniel Everette Hale—seorang mantan analis intelijen Amerika Serikat yang kemudian menjadi pelopor terkait program drone AS.

Hale mengalami krisis moral; ia menyadari bahwa banyak serangan drone yang ia bantu identifikasi, atau yang dipantau, menghasilkan korban sipil—termasuk anak-anak dan ibu-ibu, seperti korban warga sipil bisu dan seorang ibu rumah tangga dalam kontak tembak TPNPB Kodap VIII/Soanggama dan Komando Operasi Habema Kogabwilhan III di Intan Jaya Papua Tengah.

Layar televisi lain di saluran berita nasional Amerika Serikat menampakkan wajah Anwar al-Awlaki (lahir 21 April 1971 – tewas 30 September 2011) — ulama AS-Yaman dan anggota aktif Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP); terbunuh oleh serangan drone di Yaman. Nampak juga wajah Fahd al-Quso (tewas 6 Mei 2012) — anggota senior AQAP yang terkait dengan bom kapal USS Cole; bunuh oleh serangan drone di Yaman.

Layar televisi lain di saluran berita nasional Eropa muncul wajah Samir Khan — warga AS yang terbunuh bersama al-Awlaki dalam serangan yang sama di Yaman. Nampak juga wajah Jude Kenan Mohammad (4 Nov 1988 – 16 Nov 2011) — warga AS yang diduga anggota Al-Qaeda, terbunuh di Pakistan dalam serangan drone AS.

Semua layar muncul depan sa mata setiap hari dalam berita nasional Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia selama satu bulan di rumah yang gelap—cahaya hanya dari layar-layar televisi yang menampakkan wajah teroris Timur Tengah dan Papua versi berita nasional Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia. Sa kepala mulai pusing dengan kata “Perburuhan Teroris di Timur Tengah dan Papua” yang diberitakan media nasional setiap hari.

Dua minggu berlalu, sa kepala makin pusing, berputar dengan semua berita yang muncul setiap hari, jam, menit, dan detik. Sa mencari pintu untuk pergi dari rumah yang gelap—ingin menghilang dari penglihatan, bunyi, dan kata yang datang dari berita nasional. Sa ingin bertemu manusia untuk bercerita dan bertanya tentang semua isi berita nasional Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia.

“Apakah benar tentara lokal yang dibunuh militer negara dengan drone adalah teroris? Di mana pintu rumah ini? Sa mau keluar dari sini. Sa mau ketemu manusia berdiskusi?”

Sa cari-cari, raba-raba, ternyata rumah ini tidak ada pintu, jendela, dan celah kecil pun tidak ada. Tiga minggu hampir berlalu; sa semakin gila, menjerit dengan air mata dan darah yang muncul dalam layar-layar televisi yang dimeriahkan sebagai perayaan kesuksesan bagi Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia dalam kemenangan perang mereka.

Suara televisi menembus gendang telinga seperti jarum yang menusuk daging dan tulang. Cahaya keluar dengan panas yang mengores kulit hingga membakar. Sa bersuara histeris, gelisa panas, teriak memukul lantai dan tembok rumah. Tetapi tidak ada sesuatu yang mendengar, tidak ada sesuatu yang melihat, tidak ada sesuatu yang rasa, dan tidak ada sesuatu yang datang. Percuma sa bersuara, percuma sa tunggu, percuma sa mendengar, dan percuma sa berharap. Tidak ada manusia.

Sa cabut kabel untuk menghentikan semua berita nasional. Sa banting televisi untuk menghentikan suara dan cahaya dengan gerak kaku, tetapi tidak—suara tidak hilang, cahaya tidak padam. Sa tubuh lemah, tidak berdaya, tidak mampu lagi menggerakkan. Sa membuang tubuh yang sudah lemah di atas lantai batu yang dingin, panas, dan berdarah. Beberapa jam sa diam, pingsan. Tergeletak lima jam.

Cahaya terbuka di antara tembok gelap. Manusia muncul di antara terang dan di antara sunyi. Sa lihat buah dada membengkak keluar, pantat melebar kanan dan kiri, rambut hitam panjang bergerak ditiup angin dari luar masuk dalam rumah. Dia berdiri depan pintu yang terbuka dengan sinar putih menyiram tubuh. Dia menatap sa lurus. Manusia itu datang seperti Juru Selamat. Perlahan, dia melangkah mendekat ke sa.

“Ko siapa?”

“Wee!!!”

“Ko siapa?”

Kain hitam tipis panjang menutup sebagian tubuh, bola mata besar terlihat indah di wajah panjang yang ditutup hijab, hidung mancung di antara rambut yang berderai, bibir kecil tipis mengikuti wajah panjang yang putih. Manusia itu masuk lewat pintu cahaya. Sa kaget. Ternyata rumah tanpa lampu ini ada pintu. Dia sudah mendekati. Sa tidak bisa berdiri untuk berpindah tempat dari dia. Tiba-tiba sa pikiran menjadi pendek, semua organ tubuh kaku; ada jiwa lain kontrol dalam sa jiwa. Sa hanya bisa melihat, mendengar, dan merasakan—tidak mampu gerak.

“Ini iblis, sa akan mati. Oh Tuhan, sa mati.”

“Jangan, jangan we… sa tidak tau. Sa salah apa?”

“Sa Maria.”

“Kimai we… tolong, tolong.”

“Ko tenang, anak kecil.”

“Sa Maria.”

Tiba-tiba gelap. Keluarga, teman, dan orang-orang di kota hilang dari sa punya mata, tetapi sa ingat semua cerita di alam hingga di kota. Termasuk nama perempuan bernama Maria—yang datang melalui pintu rumah yang dia ciptakan sendiri sebagai Nabi dalam Kitab Suci.

Maria memiliki kekuatan lain untuk mengendalikan elemen manusia. Maria berdiri depan sa, hanya satu meter. Dia menatap sa dengan wajah layu. Bibir perlahan bergerak, lidah keluar seperti ular, aroma Asdaaf Ameerat Al Arab menempel di seluruh tubuh. Sesuatu yang menakutkan hilang dari sa pikiran.

Cahaya yang masuk melalui pintu itu tidak nampak lagi setelah Maria menyimak berita nasional di layar televisi. Beberapa menit suasana wajah berubah. Dia melihat sa dengan wajah marah, tetapi sa tidak takut setelah tubuh mampu bergerak dari ikatan pikiran yang mengikat. Maria menatap sa mata lebih dalam. Dia mulai lepas baju hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Sa lihat jelas buah dadanya yang bersih, keras, pantat yang lembek, kulit yang begitu halus dan wangi. Maria berkata-kata dalam bahasa Arab:

“Sentuhlah tubuhku. Kau akan melihat darah yang bisa membunuh. Keluar dari sini dan melihat manusia di luar rumah ini. Lihat di sana, mereka siap dengan apa adanya, mereka siap mati untuk tanah.”

“Tidak, ko teroris.”

“Sa sama dengan ko, seperti mereka.”

“Mereka siapa?”

“Mereka adalah tentara kebenaran untuk tanah air mereka tapi diberitakan teroris dalam media Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia.”

“Kenapa ada berita tentang teroris?”

“Peluklah tubuh ini. Mainkan. Bila perlu kau bunuh dan makan semua tubuh ini.”

“Untuk apa?”

“Kebenaran menunggu dalam tubuh ini. Tuhan ada dalam. Kau harus membunuh. Cepat lakukan, ayo!”

“Merdeka!!!”

Layar televisi mati seperti lampu tiba-tiba padam. Ruangan menjadi rumah; ternyata ada pintu dan jendela. Maria menghilang dari sa mata seperti gelap yang hilang karena lampu yang tiba-tiba dinyalakan. Rumah gelap telah menjadi terang. Sa mulai mendengar langkah sepatu militer di kejauhan mendekat dalam gendang telinga. Mereka saling kejar-mengejar. Anak-anak, ibu-ibu berlari dengan teriak nangis minta tolong pada Tuhan. Bunyi tembakan datang berulang, semua jadi diam. Sunyi memecah langit.

Suara-suara menyebut nama Papua dalam tangisan menjadi lagu di antara gedung agama, pemerintah, dan budaya. Tanah goyang seperti gempa susulan; mesin-mesin dari Amerika Serikat, Eropa, dan Indonesia merobek mama yang duduk tersenyum dalam tanah. Rumah-rumah telah malam setelah hampir putih. Bapak-bapak gemuk berhambur uang di atas perut putih dan coklat; ada yang mati setelah uang dapat dicuri dari Anjing dan Kucing. Begitu-begitu sampai sa tidak lagi bertemu Maria hingga perang menjemput kita semua.

“Maria!!”

“Ko di mana? Sa mau makan ko?”

“Maria”

Tanah menjadi darah, awan menjadi asap senjata dan suara bom menjadi musik blues. Sa lihat wajah Maria datang melihat sa yang terakhir kalinya. Setelah mencium, dia menutup sa mata dengan tangan gemuknya.

(AB, 2025)

Comments are closed.