Share

Oleh: Ronaldo Josef Letsoin

Program Pesona Fakfak bukan barang baru. Sejak pertama kali digelar pada 2023, kegiatan ini terus berulang setiap tahun dengan kemasan berbeda. Pemerintah Kabupaten Fakfak, Papua Barat, menjadikannya sebagai wadah promosi pariwisata, budaya, dan ekonomi kreatif daerah. Namun setelah dua tahun berjalan, hasilnya belum sepenuhnya tampak.

Yang paling mencolok justru diamnya situs resmi Pesona Fakfak, yang dulu digadang-gadang sebagai etalase digital pariwisata Fakfak. Diluncurkan dengan penuh kebanggaan pada Oktober 2024 melalui domain www.pesonafakfak.com, situs ini semestinya berfungsi sebagai pusat informasi wisata, kuliner, budaya, dan UMKM lokal. Dalam peluncurannya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Fakfak bahkan menegaskan komitmen untuk membawa wajah baru pariwisata Fakfak ke ranah digital.

Tapi janji tinggal janji. Kini, situs itu senyap. Tak ada pembaruan data, tak ada konten baru, bahkan halaman utamanya sulit diakses. Informasi tentang objek wisata, pelaku UMKM, maupun agenda festival terakhir terhenti tanpa jejak.

Padahal, pemerintah daerah pernah menyebut situs tersebut sebagai langkah besar menuju era digital pariwisata Fakfak. “Kami berharap website ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan wisatawan,” ujar Sekretaris Disparbud Fakfak, Muhammad Ilham Nurdin, saat peluncuran di tahun lalu.

Harapan itu kini tinggal arsip.
Situs yang diharapkan menjadi jantung promosi wisata justru kehilangan denyutnya. Alih-alih menjadi penghubung antara wisatawan dan penyedia layanan lokal, situs itu berubah menjadi laman kosong, tanpa pembaruan, tanpa arah.

Lebih ironis lagi, domain yang digunakan adalah .com, bukan .go.id sebagaimana seharusnya untuk situs milik instansi pemerintah. Pengamat tata kelola digital, Erik, menilai penggunaan domain komersial itu keliru dan mencerminkan lemahnya pemahaman birokrasi terhadap prinsip e-government.

“Ini bukan sekadar soal teknis, tapi soal legitimasi. Pemerintah seharusnya menggunakan domain .go.id agar publik yakin situs tersebut resmi dan dapat dipercaya,” ujar Erik.

Ia menambahkan, kebijakan nasional menegaskan seluruh situs resmi instansi pemerintah wajib memakai domain .go.id. Selain menjamin keaslian lembaga, domain ini juga mendukung transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap informasi yang disajikan.

“Kalau domain-nya saja komersial, bagaimana publik bisa yakin situs itu resmi milik pemerintah?” katanya.

Kini, pertanyaan publik bukan hanya mengapa situs itu tak aktif, tapi mengapa pemerintah diam. Tak ada penjelasan resmi dari Disparbud Fakfak soal alasan situs tak diperbarui. Tak ada keterangan apakah domain lupa diperpanjang, sedang diperbaiki, atau memang dibiarkan.

Ketiadaan komunikasi publik ini justru memperkuat kesan bahwa Pesona Fakfak hanya berhenti di seremoni tahunan tanpa strategi keberlanjutan. Padahal, promosi pariwisata tidak cukup dengan panggung hiburan dan baliho. Ia menuntut konsep, data, dan kontinuitas, hal yang justru absen dari program ini.

Fakfak memiliki potensi besar, teluk yang tenang, sejarah kota tua, dan julukan Kota Pala yang unik. Tapi potensi sebesar itu tak akan berarti tanpa pengelolaan yang konsisten. Tanpa arah digital yang jelas, Pesona Fakfak berisiko berubah menjadi paradoks, sebuah “pesona” yang justru kehilangan daya tariknya.

Kini, publik menunggu satu hal sederhana dari pemerintah daerah: kejelasan dan komitmen. Sebab, promosi pariwisata sejatinya bukan tentang pesta pembukaan dan seremonial, melainkan tentang keberlanjutan dan kepercayaan. Dan dua hal itu, sejauh ini, belum benar-benar hadir di Fakfak.

About Author

Comments are closed.