ESAI NARATIF – “Jimi yang bawa pickup hitam itu, ikut dia dari belakang saja,” ajak Marinus pada Balfi yang duduk di belakang kemudi mobil putih kami.
Semua orang menunggu di bawah terik matahari, kebanyakan berkostum Persipura: hitam dan putih—dua warna yang menyatukan eksistensi orang Papua, darah dan kulit. Stadion Lukas Enembe kembali ramai seperti pertandingan Persipura melawan Persiba, Minggu 19 Oktober 2025.
Kali ini, matahari pecah di atas langit Kampung Harapan, Sentani Timur. Tidak seperti laga sebelumnya yang diliputi mendung dan hujan. Tribun timur akan dibakar sinar matahari, tapi kami tak punya pilihan lain selain duduk di sana.
Balfi, Marinus, Herman, Melvin, dan saya berada dalam mobil Honda Mobilio RS putih, menempel di barisan suporter Black Danger. Kami ikut iring-iringan sampai memarkir di depan pintu tribun timur. Kami berdiri di antara suporter lain, masuk rapat tanpa tiket di tangan.
Padahal seharusnya kami membeli tiket seharga Rp75.000. Membayar tiket sama halnya dengan membayar doa agar Persipura menang, demi nama baik Tanah Papua.
Cahaya matahari sudah menunggu untuk membakar kepala-kepala yang duduk di tribun timur. Kami memilih naik ke lantai tiga, berharap atap stadion yang tinggi melindungi kami. Tapi ketika matahari mulai bergerak ke barat, sinarnya tetap menyiram wajah dan leher hingga kulit kami basah oleh keringat.
“Ini matahari sore, jangan pindah,” ajak saya pada Melvin, melihat Marinus dan Herman mulai bergeser ke tempat teduh.
“Tidak lama, nanti kalau sore sudah tidak panas,” balas Melvin santai, matanya tak lepas dari lapangan di mana kedua tim bersiap bertanding.
Pertandingan akan segera dimulai. Saya melihat Boaz Solossa memimpin Persipura memasuki lapangan. Dalam pandangan saya, dia seperti Aleksander Agung—pemimpin pasukan yang gagah melintasi medan perang dari Yunani hingga India. Tapi hari itu, entah mengapa, terasa seperti momen yang menyedihkan.
Semua manusia di atas tribun percaya Boaz akan mencetak gol. Kita semua menunggu bola datang kepadanya, menunggu teriakan yang dulu menggema di Stadion Mandala dan di depan televisi rumah kita.
“Apakah Boaz Solossa akan seperti dulu di Mandala hari ini?” barangkali itu yang kita pikir diam-diam dengan gelisah.
Renan dan Fabiano dari Barito Putera tak memberi ruang sedikit pun. Hanya dua kali bola jatuh di kaki Boaz, dua kesempatan yang tak berbuah gol. Tapi setiap kali bola itu mendekat padanya, seluruh tribun berdiri, bertepuk tangan, berdoa dalam hati.
Kita semua ingin percaya Boaz masih seperti dulu. Namun mungkin, di lubuk hati yang lain, kita tahu: Boaz telah melewati masa itu. Saya membayangkan dia berkata, “Sa sudah tidak seperti dulu lagi, tapi jangan berhenti, kita bisa seperti dulu.”
Bola panjang datang dari kaki Mandowen menuju Boaz. Semua orang kembali berdiri, bersorak, walau dia tak sempat mengejar bola. Kami sadar, Boaz tidak lagi seperti dulu, tapi kerinduan membuat kami terus berharap. Barangkali hari ini, di Mandala, kita sedang melawan kenyataan Tuhan.
Boaz Solossa tetap hidup. Di layar skor yang menyala, wajahnya muncul sebagai ikon sepakbola Papua. Energinya masih menguasai seluruh stadion, meski kaki tuanya tak lagi secepat dulu. Kamera menyorotnya seperti unggahan Instagram @fifaworldcup, seolah dunia kembali mengingat Boaz saat membela tim Garuda di kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Bahrain dan China, Oktober 2024 lalu.
Saya memotret layar skor yang menampilkan tubuhnya sebelum babak kedua dimulai. Bagi kami, Boaz bukan hanya pemain. Ia adalah tokoh, simbol, dan doa yang menjelma manusia.
Namun sore itu, saya melihat sesuatu yang berbeda. Persipura baru saja kalah dua kali, manajemen sedang dievaluasi, dan Boaz berdiri di tengah gejolak itu. Saya membayangkan, seandainya dia berbicara di depan kami, mungkin katanya begini:
“Kita harus berjanji pada diri sendiri dan pada tanah ini. Di sini rumah kita—meski rumah ini seperti telah dimiliki orang lain, yang ingin mengubah mimpi kita. Tapi jangan takut; kebenaran menunggu kita, dan kita harus menjemputnya.”
Menit-menit terakhir pertandingan terasa panjang. Kami semua berdiri, menunggu peluit panjang. Ketika akhirnya berbunyi, Persipura menang dan naik ke posisi tiga dengan 13 poin. Kami bersyukur—meski diam-diam saya merasa ada yang tak seimbang.
“Hari ini tong makan enak betul, sudah masuk tanpa tiket baru Persipura menang lagi,” kata Balfi sambil tertawa saat kami keluar dari tribun timur.
“Itu lagi,” jawab saya pelan, dengan rasa berat.
Kami yang masuk tanpa tiket sebenarnya tak pantas terlalu bahagia. Kalah pun, kami tak berhak marah. Membeli tiket berarti ikut membiayai Persipura naik ke Liga 1—seperti membeli kopi Kapal Api, sponsor utama klub. Setiap teguknya adalah donasi kecil bagi tim kebanggaan Papua.
Di luar stadion, cahaya mulai redup. Orang-orang pulang dengan senyum, bersama bau kendaraan, pinang, dan kotoran burung yang bersarang di atap stadion LE. Bau Papua di udara.
Kami kembali ke mobil putih milik Herman. Balfi menyetir perlahan keluar dari lingkar stadion, menembus kemacetan yang mirip sore di Jakarta, antara Depok dan Sudirman.
“Kamu lihat, kostum Persib Bandung itu sudah seperti lembar koran—penuh sponsor,” kata Marinus dari kursi depan. “Itu karena suporter mereka fanatik. Industri di sana bisa hidup karena suporter jadi konsumen. Kita di Papua belum bisa begitu, belum kompak.”
“Lihat tadi, hanya beberapa yang berdiri waktu Capo kasih aba-aba,” lanjutnya, matanya menatap jalan. “Kalau suporter Papua sudah kompak, nanti sponsor-sponsor juga akan datang baku rampas.”
Malam makin turun. Kami terus berbincang sampai di depan kantor. Sebelum tengah malam, saya pamit pulang.
Balfi, Marinus, dan Herman mungkin pulang setelahnya.
Selamat malam, Boaz Salossa.
Engkau masih hidup di tribun timur.
(Nomen Douw)