Share

Di pesisir barat Tanah Papua, berdirilah Fakfak, kota tua yang pernah menjadi salah satu pintu utama menuju wilayah timur Indonesia. Di sini, jejak sejarah dan pertemuan budaya masih terasa kuat. Sebuah masjid tua yang menyerupai gereja dan sumur peninggalan misionaris Katolik menjadi saksi peradaban lama tempat Islam dan Katolik menanamkan akar imannya di Papua.

Di pasar kota, suara pedagang masih bersahut-sahutan memanggil pembeli. Angin laut membawa aroma ikan asin bercampur debu jalan, di antara lalu lintas yang jarang dilalui kendaraan besar. Fakfak tampak tenang, tapi di balik ketenangan itu, tersimpan kenyataan getir ‘kota ini kian terisolasi’.

“Dari Fakfak ke luar Papua lebih gampang, tapi kalau mau ke sesama wilayah di Tanah Papua, seperti perjalanan mustahil,” ujar Aldi, warga Fakfak, sambil menatap ke arah landasan Bandara Siboru yang baru beberapa tahun beroperasi.

Bandara Siboru kini menjadi satu-satunya harapan bagi sekitar 90 ribu jiwa penduduk Fakfak. Landasannya sepanjang 1.600 meter dan lebar 30 meter, namun belum cukup untuk didarati pesawat berbadan besar. Pemerintah berencana memperpanjangnya hingga 2.200 meter dan memperlebar menjadi 45 meter, agar bisa melayani penerbangan langsung ke kota-kota besar di Indonesia.

Untuk saat ini, Wings Air menjadi satu-satunya maskapai yang terbang reguler ke Fakfak. Namun tak ada rute langsung ke Manokwari, ibu kota Papua Barat. Penumpang harus transit di Sorong, dan tak jarang menunggu penerbangan lanjutan hingga keesokan hari.

Padahal, Manokwari dan Jayapura memegang peran penting di Tanah Papua satu sebagai pusat pemerintahan, lainnya pusat pendidikan dan kebudayaan. Ironinya, bagi warga Fakfak, kedua kota itu terasa lebih jauh dibandingkan kota-kota di luar Papua.

“Kalau ada penerbangan langsung ke Manokwari atau Jayapura, tentu lebih hemat waktu dan biaya. Sekarang harga tiket bisa dua kali lipat karena harus menginap dulu di Sorong,” keluh Aldi.

Keterisolasian juga terasa di laut. Kapal penumpang dari Makassar, Maluku, dan Jawa masih rutin berlabuh setiap pekan, tetapi kapal antarwilayah Papua hampir tak lagi beroperasi. Rute Fakfak–Manokwari atau Fakfak–Jayapura kini hanya tinggal cerita.

“Kami butuh kapal yang menghubungkan sesama wilayah Papua seperti dulu,” tutur seorang nelayan tua di Pelabuhan Fakfak. “Sekarang orang dari luar mudah datang, tapi kami, sesama orang Papua, makin jarang bertemu.”

Krisis transportasi ini membuat Fakfak terasa seperti pulau kecil di tengah daratan besar. Harga barang kebutuhan naik, perjalanan antarwilayah memakan waktu panjang, dan banyak urusan dengan instansi di Manokwari harus dilakukan secara daring karena sulitnya akses fisik.

Fakfak, kota tua yang dulu dikenal sebagai pintu masuk peradaban di Tanah Papua, kini seakan berdiri sendiri, menunggu jembatan udara dan laut yang bisa kembali menghubungkannya dengan saudara-saudaranya di timur.

“Jangan biarkan orang Papua merasa terkurung di tanah sendiri,” kata Risma, warga Fakfak.

About Author

Comments are closed.