OPINI – Saya sudah tidak banyak dengar lagu-lagu yang diproduksi dari Papua dengan alasan, lebih banyak lagu dibuat hanya untuk cinta pada seorang wanita. Sedikit tentang kehidupan keluarga, sahabat dan komunitas. Saya ketemu hanya 1,0% topik lagu tentang keluarga, sahabat dan komunitas. Mungkin inilah era romantik yang pernah ada setelah di mulainya sejak era revolusi Perancis (1789).
Rasanya bosan mendengar lagu yang seakan semuanya dipersembahkan hanya untuk memuja cinta pada wanita dengan seribu bahasa puitis yang berulang. Hanya sedikit lagu yang universal (umum), misalnya beberapa lagu Mambesak, Black Brothers, Bob Marley, Bob, Tupac Shakur, Lennon dan lain-lain yang disukai tidak hanya para menikmati musik karena bermuatan makna sosial__cinta yang lebih luas dan tidak hanya satu tentang wanita.
Mungkin karena saya baru tahu tentang kesenian dari seorang teman yang banyak membaca tentang seni. Kata teman,” seni dipahami oleh seni itu sendiri, tapi semua seni musik dan lagu tampak bersuara pada diri mereka sendiri tanpa seorang seniman perlu menjelaskannya, itu yang mungkin dimaksud filsuf Prancis sebagai ”I Art Pour I art” (seni untuk seni) karya seperti itu relatif belum ada di Papua, tapi bisa saja ada tapi saya belum memahami.
Saya melihat seniman yang sedikit berfokus pada lirik lagu adalah Slic Dogg (Penyanyi Rapper di Jayapura) ia memunculkan kepelikan pada para pendengar yang mengganggu, seperti lagu dia”Journey “dan”Long Distance” dua lagu itu membuat saya berpikir tentang cinta, tidak hanya cinta pada wanita yang kebanyakan, artinya, saya bisa membayangkan banyak hal dengan lirik yang membuat saya berpikir.
Kita punya banyak pendengar musik yang agak balap, hanya untuk goyang dan goyang, benar juga kata teman,”Kita (Papua) masih di budaya tutur.” Cantik maupun ganteng sama, seakan kita tidak ada otak untuk berpikir tentang arti lirik, arti beat dan arti visual, tapi itu membutuhkan sejarah manusia yang panjang. Saya tidak bilang itu jelek karena kata teman,”Seni itu bebas berekspresi.”
Saya hanya pertanyakan, apakah saya benar-benar menikmati lagu-lagu dari Papua? Mungkin saya ada dalam apa yang disampaikan manusia kiri, Theodor Adorno, ”Culture Industry” artinya, musik bukan lagi ekspresi otonom, melainkan produk industri budaya yang bertujuan hiburan instan.
Saya melihat seniman musik lahir hanya dari patahan cinta pada wanita, dan kita memuja itu bersama tanpa bertanya. Seakan kita semua mengalami perubahan itu hanya dengan cinta pada seorang pria atau wanita saja. Lagi-lagi, cinta pada sahabat, keluarga dan lingkungan jauh dari pikiran mikrofon. Padahal, kita hidup dengan banyak realitas di sekitar kita, tidak hanya cinta pada wanita. Kita diberi makan oleh realita, dan hal itu membentuk keputusan hidup setiap hari.
Sejauh romantis modern berkembang sejak akhir abab-18, telinga saya cukup jauh dari perkembangan seni; banyak bunyi dan warna diciptakan. Saya lebih menikmati lagu klasik sebagai pelarian dari karya para seniman Papua modern kontemporer yang tidak membuat saya berbagi waktu antara ketawa, sedih dan perenungan. Kenikmatan itu semu menurut Theodor Adorno (filsuf Jerman), dia bilang, “pendengar merasa terhibur, tapi sebenarnya pasif, tidak kritis, dan diarahkan oleh sistem industri budaya.”
Bukan berarti saya tidak suka dengan para seniman musik di Papua berkarya, tapi sedikit tidak setuju dengan dominasi yang sedang berkembang belum memiliki alternatif yang lain, ada tapi tidak berkembang dan tidak dipertahankan. Manusia menikmati banyak hal, tidak hanya beberapa hal saja. Sementara ini, saya cukup menikmati lagu-lagu yang diciptakan oleh Mambesak (1978), Brack Brothers (1975) dan musik akustik tradisional lain yang sederhana tapi dapat berbagi cerita yang sangat dekat dengan saya.
(D/Admin)