Oleh: Ronaldo Josef Letsoin – Redaktur Majalahkribo.com

Pemerintah Kabupaten Fakfak pernah berteriak lantang di depan publik Pendidikan gratis, seragam gratis, sepatu gratis!” slogan yang terdengar manis, bahkan revolusioner. Namun, apa yang kita saksikan hari ini? Janji besar itu justru terkurung di balik kontainer-kontainer besi yang katanya masih tertahan entah di mana.

Kita sudah masuk bulan September, anak-anak sudah dua bulan bersekolah, tetapi seragam gratis itu belum juga menempel di tubuh mereka. Yang menempel hanyalah kekecewaan, kemarahan, dan rasa dibohongi.

Alasan yang kita dengar berulang-ulang “Kapal” Seolah-olah satu kata ini cukup menjelaskan semuanya.

Padahal, masyarakat Fakfak tahu betul, barang-barang dari Jawa ke Fakfak tidak pernah sekarut ini. Elisabet, seorang pelajar, bahkan menyindir terang-terangan Barang dari Jawa saja bisa lancar dikirim, masa seragam saja bilang terkendala kapal? Lucu sekali.”

Dan memang benar, apa yang lucu dari sebuah kebijakan publik yang ditopang miliaran rupiah, tapi kalah oleh jadwal kapal?

Lebih tragis lagi, banyak orang tua seperti Febri yang akhirnya terpaksa membeli seragam dengan uang sendiri, karena tidak tega melihat anaknya ke sekolah tanpa pakaian yang layak.

“Seragam gratis mana? Kita sudah beli sendiri, anak-anak sudah dua bulan sekolah. Kalau terlambat begini, seragam itu pak plt kadis saja yang pakai, jangan anak-anak.”

Kutipan ini bukan sekadar keluhan. Ini tamparan keras untuk Pemda Fakfak. Apa gunanya janji bombastis di panggung politik kalau ujungnya rakyat juga yang harus menanggung beban?

Ironisnya, di tengah gegap gempita Karnaval HUT RI ke-80, justru siswa SMP YPPK Don Bosco yang berani mengungkapkan isi hati rakyat Fakfak. Mereka melontarkan pertanyaan menusuk ke Wakil Bupati “Bagaimana tanggapan Bapak terkait keterlambatan seragam gratis?”

Pertanyaan polos anak-anak itu jauh lebih tajam daripada semua pidato pejabat. Mereka tidak butuh jawaban teknis, mereka hanya ingin kejelasan; mana seragam gratis yang dijanjikan?

Hari ini publik diberi angka-angka; 5 hingga 6 kontainer, 23 ribu seragam, masih tertahan di Surabaya. Alasan demi alasan digelindingkan, dari pendataan ukuran hingga jadwal pengiriman.

Tetapi, masyarakat mulai bosan. Kata “segera” yang diulang sejak Juli sudah basi. Janji itu kini terasa seperti gula-gula politik yang ditaruh manis di mulut rakyat, tapi pahit begitu masuk ke perut.

Program seragam gratis di Fakfak seharusnya menjadi kebijakan mulia, meringankan beban orang tua, mendukung pendidikan, menumbuhkan rasa bangga siswa. Tetapi faktanya, janji ini berubah jadi bahan lelucon, sindiran, dan meme di media sosial.

Kalau seragam gratis saja tidak mampu diurus dengan baik, bagaimana dengan program-program besar lainnya?

Kalau alasan “kapal” bisa dijadikan tameng, apakah itu berarti visi Pemda Fakfak ikut tenggelam di laut?

Dan kalau publik terus dibuai janji kosong, bukankah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah perlahan terkikis habis?

Kesimpulan: “Fakfak Harus Bangun dari Tidur Janji”

Kebijakan publik tidak boleh hanya menjadi panggung retorika. Fakfak butuh pemimpin yang tidak sekadar pintar berjanji, tetapi juga berani menepati.

Hari ini, seragam gratis bukan lagi simbol kepedulian pemerintah, melainkan simbol ketidakmampuan. Jika Pemda Fakfak tidak segera menepati janjinya, maka biarlah rakyat menarik satu kesimpulan sederhana, “Kami tidak percaya lagi.”

Share this Link

Comments are closed.