CERPEN – Sudah hampir satu tahun Paul berjanji pada dirinya kalau suatu saat akan merampok Perpustakaan Universitas Papua (PUP). Ide merampok itu muncul setelah Paul melihat Perpustakaan Universitas Papua selalu saja terlihat sunyi dari aktivitas mahasiswa dan dosen yang menyukai buku. Beberapa kali Paul lakukan pertemuan  dengan kepala Perpustakaan Universitas Papua, Cleaning Service, Tikus-Tikus dan Kecoa-Kecoa.

Siang hampir sore di wilayah kampus Universitas Papua. Paul mencium aroma hutan yang berlumut bercampur bau alkohol yang tersisa sepanjang jalan utama dan jalan tikus, berseraka pinggiran gedung fakultas bercorak putih dan pepohonan hijau yang menyejukkan. Paul memanjat jalan kampwolker seperti Tikus dan Kecoa berlari-lari dengan diam, ia membelok dibawa sayap burung cendrawasi yang ganteng dan cantik, tetapi sayangnya telah mati.

Paul menatap daun-daun kering melompat terbang mengikuti lajunya mobil dan motor, yang diam-diam membawa pergi mahasiswa dan dosen, mereka tidak dari Perpustakaan Universitas Papua. Paul melihat beberapa kelompok mahasiswa dan dosen duduk dekat dengan narkoba, alkohol, sex, berbelanja tubuh. Mereka lebih jauh dari Perpustakaan Universitas Papua.

Sebagian kelompok mahasiswa dan dosen duduk di antara sudut gedung fakultas dan sudut bukit, mereka duduk berdoa meminta kepintaran tanpa menyukai buku, seakan kepintaran turun dari langit begitu saja. Diatas batu beralas tulang hitam menuliskan sebuah tanggal yang belum dipecahkan rahasianya”Wasior, 25 Oktober 1925”

“Ibu Lolita, besok sa dengan teman-teman akan rampok Perpustakaan Universitas Papua ini,” ucap Paul dengan penuh percaya diri pada Ibu Lolita di ruang kepala Perpustakaan Universitas Papua.

“Ko siapa jadi bicara seperti itu? Berani sekali ko,” balas kaget Ibu Lolita dengan suara emosi menatap Paul.

“Semua mahasiswa dan dosen selain Ibu Lolita sudah sepakat dengan ide ini. Jadi, dalam waktu dekat kami akan merampok Perpustakaan Universitas Papua,” balas Paul sambil berdiri untuk pergi dari gedung Perpustakaan Universitas Papua.

“Bagaimana ko bisa buat itu? Kayaknya, Ko banyak bermimpi, dan ko perlu berobat,” balas Ibu Lolita dengan nada enteng.

“Ibu harus tahu, Cleaning Service, Tikus-Tikus dan Kecoa-Kecoa akan bantu sa, jadi pasti kami rampok tempat ini,” balas Paul sembari dia membuka pintu dan pergi. Ibu Lolita diam tak membalas, tetapi dia khawatir dan percaya karena Cleaning Service, Tikus-Tikus dan Kecoa-Kecoa akan membantu Paul.

Hari sudah gelap, gedung-gedung kampus seakan ditutupi selimut hitam diatas pusat ketinggian. Paul berjalan keluar dengan langkah cepat dari gedung Perpustakaan Universitas Papua. Paul terlihat panik, tetapi ia tenang karena percaya diri. Beberapa kelompok mahasiswa dan dosen yang sudah mabuk uang, mobil dan kekuasaan mengejar Paul untuk menghentikan misi Paul merampok Perpustakaan Universitas Papua. Mereka mengenakan simbol-simbol Negara di pakaian hitam dan putih sebagai pekerjaan individu mereka, bukan kolektivitas masyarakat.

Ruas jalan menuju kampus tidak pernah hilang dari keramaian, tetapi ada sore yang sunyi, tidak ada kaki mahasiswa dan dosen. Niat mempertemukan waktu yang tepat. Paul dan beberapa kelompok mahasiswa dan dosen bertemu disebuah rumah kosong milik teman Paul waktu kecil bernama Akut. Sebagian mahasiswa dan sebagian dosen bersatu dengan Paul. Mereka siap dengan risiko yang akan datang. Mereka bangun strategi merampok Perpustakaan Universitas Papua.

Perampokan akan dilakukan senin pagi. Persiapan mereka seakan revolusi total akan hadir dan sejarah akan dikenang masyarakat, mahasiswa dan dosen. Motor-motor dan Mobil-Mobil sudah disiapkan oleh mahasiswa dan dosen. Paul sudah sewa alat berat, truk peti kemas atau kontainer. Semua telah siap merampok Perpustakaan Universitas Papua.

Selama tiga bulan sebelum ada ide perampokan, Paul selalu di Perpustakaan Universitas Papua, selain ia membaca buku, ia diskusi dengan Yakobus dan banyak Tikus dan Kecoa, yang bermain di antara buku-buku yang warnanya sudah dimakan waktu bertahun-tahun tanpa sentuhan mahasiswa dan dosen. Dari pertemuan mereka, Paul memiliki ide perampokan, dan mereka membentuk misi merampok Perpustakaan Universitas Papua.

Gerbang masuk kampus di penuhi dengan militer berpakean dinas dengan atribut perang, mereka terlihat bukan seperti manusia. Mereka ada dalam hutan, depan gedung, belakan gedung_menjaga dengan ketat, wajah mereka keras, siap atasi siapapun yang melawan bukan melanggar.

Mahasiswa dan dosen masuk kuliah seperti biasa, mereka tidak merasa cemas dengan wajah militer dalam kampus dan apatis pada pemahaman ruang akademik sebagai kebebasan berpikir, diskusi kritis, dan pencarian kebenaran. Wilayah gedung Perpustakaan Universitas Papua terlihat disabotase kekuatan militer dengan alasan melindungi kampus dari kelompok pemberontak seperti Paul, Tikus-Tikus dan Kecoa-Kecoa.

Perlawanan keras membara depan gerbang kampus. Dibawa komando Paul memaksa masuk ke wilayah kampus untuk pergi ke gedung Perpustakaan Universitas Papua, tetapi mereka berhadapan dengan moncong senjata dan sepatu laras. Sepanjang hari hingga malam mereka saling dorong hingga konflik pecah. Banyak mahasiswa dan dosen cedera otak karena tidak pernah membaca baca buku di Perpustakaan Universitas Papua.

Berita lokal, nasional dan internasional ramai di ruang media sosial.”Mahasiswa dan dosen dibawa pimpinan Paul ditangkap para militer dengan dugaan perampokan Perpustakaan Universitas Papua: Banyak Mahasiswa dan dosen yang sakit karena tidak pernah duduk di Perpustakaan Universitas Papua.”

Ratusan mahasiswa dan dosen yang duduk di perpustakaan, kampus, kafe, rumah dan ruang terbuka dengan buku bacaan ditangkap lalu dipenjara di pulau hitam bernama PFLP (Prison For Lazy People)

“Ko curi buku berapa dari Perpustakaan Universitas Papua?” tanya para militer dengan suara keras berwajah ganas pada semua tahanan mahasiswa di ruang interogasi.

“Sa tidak pernah curi buku di Perpustakaan Universitas Papua karena sa tidak pernah pergi. Bagaimana sa mau suka/curi buku?”balas setiap mahasiswa yang di interogasi dengan wajah asam.

“Ko dosen sudah curi berapa buku dari Perpustakaan Universitas Papua?” tanya  para militer dengan suara keras pada semua dosen di ruang interogasi.

“Sa tra suka buku, tra suka juga baca. Bagaimana sa mo ke Perpustakaan Universitas Papua? Tidak mungkin sa curi buku,” balas setiap dosen dengan wajah percaya diri.

“Paul, ko jujur sebelum kami hukum ko lebih berat, jujur biar kamu semua bebas. Siapa yang rampok Perpustakaan Universitas Papua?” tanya para militer dengan wajah lebih emosi  menatap Paul.

“Benar kalau misi ini sa yang rencanakan untuk rampok Perpustakaan Universitas Papua, tapi kami heran, kenapa ada yang sudah rampok Perpustakaan Universitas Papua sebelum pagi. Demi Tuhan, kami tra tahu siapa yang lakukan itu malam, kami ingin rampok itu pagi bukan malam,” jelas Paul dengan wajah heran.

“Tidak, pasti ko punya tim lain,” balas salahsatu militer dengan suara keras seperti suara knalpot motor rx-king.

“Demi Nama Tuhan tidak ada, sumpah!” balas Paul, tiba-tiba tubuhnya dipenuhi ketakutan karena suara ancaman para militer.

Para militer tidak menemukan informasih kuat pada mahasiswa dan dosen kecuali Paul. Ratusan mahasiswa dan beberapa dosen di pulangkan dari penjara setelah ditahan dua hari. Hanya Paul di tahan sebagai pelaku yang merancang perampokan Perpustakaan Universitas Papua.

Paul ditahan sendiri di penjara, di hajar para militer hingga babak belur, wajah tidak bentuk dengan pukulan tangan dan tendakan sepatu militer. Mulut, hidung dan mata mengeluarkan darah. Paul jatuh lemas diatas lantai semen. Setiap pagi dan sore Paul selalu disiram dengan air es, ia teriak hingga tembok-tembok bergetar.

Paul disiksa selamah satu bulan lebih di ruang kecil berukuran satu meter berbau amis kotoran manusia. Setiap hari Paul menderita dalam ruang penjara yang sempit, sesekali para militer datang menyiksa seakan ia OPM/Militer West Papua. Tidak ada belas kasihan dari manusia yang menyukai buku, semua orang melihat Paul sebagai manusia gila yang ingin merampok Perpustakaan Universitas Papua yang kosong tanpa mahasiswa dan dosen.

Suatu ketika, pada malam minggu yang sunyi, Paul berbaring lemah diatas lantai batu yang kotor berbau keringat, hanya cahaya kecil dari lampu pijar yang menerangi dari luar ke dalam ruangan penjara, terdengar hanya suara jangkrik dan sesekali suara kendaraan di kejauhan kilo meter.

Ada suara bisikan dekat jeruji besi, Paul perlahan buka mata dan bangun dengan berat sambil batuk kering. Ia dengan perlahan mencari sumber suara bisikan.

“Paul..Paul..Paul,” suara bisik di antara besi ventilasi di atas kepala.

“Ya, di mana?” balas bisik Paul dengan hati-hati. Dua makluk aneh berdiri diantara  besi ventilasi menatap wajah Paul. Paul kenal mereka, dan mereka adalah pemimpin Tikus-Tikus dan Kecoo-Kecoa di Perpustakaan Universitas Papua.

“Turun sini,” perintah Paul pada Tikus dan Kecoa.

“Yeskon, Paul kenapa deng ko muka begini,” ucap Tikus setelah melihat wajah Paul yang memar darah.

“Jang tanya, ini penjara. Kenapa kamu dua datang?” tanya Paul langsung.

“Kami sudah rampok gedung Perpustakaan Universitas Papua. Sudah beres Paul,” jelas Kecoa dan Tikus dengan bangga pada Paul.

“Ok itu bagus. Bagaimana dengan ibu Lolita?” tanya Paul dengan wajah serius.

“Dia tewas karena dia halanggi kami,” balas Tikus.

“Adoh!!! kenapa kalian lakukan itu, hanya Ibu Lolita yang bisa buat sa keluar dari penjara ini, ya, Tuhan,” suara kaget Paul dengan menyesal memegang kepala yang pusing.

“Maaf Paul, yang lakukan itu bapak Yakobus, Cleaning Service, dia yang jaga semua pintu saat kami rampok,” balas Kecoa dengan suara merendah. Paul menunduk dengan diam, hilang kata-kata untuk balas.

Di ruang penjara yang kecil, Tikus, Kecoa dan Paul duduk diam hingga pagi terang mereka berpisah. Tikus dan Kecoa pulang membawa berita pada Yakobus agar ia berusaha supaya Paul bisa keluar dari penjara dengan cepat. Tapi itu tidak terjadi karena Yakobus ikut di tangkap para militer karena terbukti membunuh Ibu Lolita saat perampokan di lakukan di Perpustakaan Universitas Papua.

Paul dan Yakobus bertemu di penjara. Saling kaget. Mereka dua jalani hukuman selamah 10 tahun bersama. Setelah keluar dari penjara, Paul dan Yakobus berkunjung ke Perpustakan Universitas Papua yang telah di rampok 10 tahun lalu oleh Tikus-Tikus dan Kecoa-Kecoa. Ternyata gedung putih telah berganti warna dengan hijau lumut, dan terganti nama dengan”Perpustakaan Markas Tikus dan Markas Kecoa dari nama Perpustakan Universitas Papua.

Paul dan Yakobus bertemu Tikus-Tikus dan Kecoa-Kecoa sedang ramai dalam gedung perpustakaan, mereka sedang baca, menulis dan diskusi. Mereka lakukan persis seperti aktivitas mahasiswa dan dosen di perpustakaan yang sebenarnya.

(Oleh: Nomen Douw. Abepura Papua, 2025)

Share this Link

Comments are closed.