Majalahkribo.com – Pemandangan yang jarang terjadi menghiasi Peringatan 665 Tahun Masuknya Islam di Tanah Papua, Jumat (8/8/2025) di RTH Ma’ruf Amin, Fakfak. Dua figur politik yang setahun lalu bersaing ketat di Pilkada Fakfak 2024, Bupati Samaun Dahlan dan mantan Bupati Untung Tamsil, terlihat duduk sebaris di acara yang sama.

Keduanya tampil sederhana, mengenakan kemeja putih polos dan peci hitam. Meski posisi duduk terpisah beberapa orang, momen itu tetap menyedot perhatian publik. Foto-foto kebersamaan mereka, bahkan bersama Wakil Bupati Donatus Nimbitkendik, ramai beredar di media sosial dan memancing komentar positif dari masyarakat.

Pilkada Fakfak 2024 memang menjadi ajang persaingan panas. Basis dukungan terpolarisasi, visi dan strategi bertubrukan. Namun, peringatan bersejarah Islam masuk Papua membuktikan satu hal penting: persaingan politik tidak sama dengan permusuhan abadi.

Seorang warga Fakfak, Rian, mengutip filosofi politik klasik dan memposting foto kebersamaan mereka serta menulis, “Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan yang harus diperjuangkan.” Prinsip ini sejalan dengan pandangan Lord Palmerston: “Kita tidak memiliki sekutu yang abadi, dan kita tidak memiliki musuh yang selamanya. Kepentingan kitalah yang abadi, dan kepentingan itulah yang menjadi kewajiban kita untuk diikuti.”

Momen ini memberi pesan edukatif bagi publik dan simpatisan kedua kubu. Sering kali, pendukung politik terjebak dalam fanatisme berlebihan, memutus silaturahmi, merendahkan pihak lain, bahkan membawa perbedaan ke ranah pribadi.

Padahal, para tokoh politik sendiri bisa duduk bersama, berbicara, dan bekerja sama demi tujuan yang lebih besar.

Kebersamaan Samaun Dahlan, Donatus Nimbitkendik, dan Untung Tamsil adalah isyarat simbolis, bahwa politik hanyalah salah satu cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Kepentingan rakyat dan kemajuan daerah jauh lebih penting daripada mempertahankan sekat-sekat politik yang kaku.

Sejumlah warga berharap momen ini tidak berhenti sebagai formalitas acara. Komunikasi yang lebih intens dan kolaborasi nyata antara dua figur berpengaruh ini bisa menjadi modal besar bagi pembangunan Fakfak. Jika para pemimpin bersatu dalam visi, maka energi politik bisa diarahkan untuk hal produktif: mempercepat pembangunan, melestarikan sejarah, dan memperkuat persatuan masyarakat.

Ketua PASTI Indonesia, Lex Wu, bahkan menulis di media sosialnya, “Kayak gini kan adem liatnya,” sambil memposting foto kebersamaan mereka. Reaksi semacam ini menunjukkan bahwa publik rindu melihat pemimpin daerah yang mengedepankan kepentingan bersama.

Fakfak baru saja memberi kita contoh bahwa rivalitas politik tidak harus berakhir dengan jarak dan permusuhan. Justru, ketika kompetisi selesai, pintu kerja sama harus dibuka lebar.

Bagi masyarakat dan simpatisan, ini menjadi pengingat untuk tidak mengorbankan hubungan sosial demi perbedaan pilihan politik. Karena ketika para tokoh mampu berdamai dan bekerja sama, rakyatlah yang akan merasakan manfaatnya.

Ronald  J Letsoin 

Share this Link

Comments are closed.