Fakfak, majalahkribo.com – Rumah jabatan Bupati dan Wakil Bupati Fakfak kini tak lebih dari bangunan kosong tanpa jiwa. Bukan hanya tak dihuni, tetapi juga tak berisi. Sejak ditinggalkan oleh kepala daerah periode sebelumnya, seluruh isi rumah dinas lenyap, menyisakan teka-teki soal ke mana perginya aset negara yang seharusnya tetap berada di tempat.
Kini, saat Bupati baru Samaun Dahlan dan Wakil Bupati Donatus Nimbitkendik resmi menjabat sejak pelantikan pada 20 Februari 2025 lalu, rumah jabatan itu belum bisa ditempati. Alasannya? Masih dalam proses renovasi dan tentu saja, kosong melompong.
Padahal, rumah jabatan bukan sekadar tempat tinggal, melainkan fasilitas negara yang melekat pada fungsi kepala daerah. Ia menjadi simbol kehadiran pemerintah di tengah rakyat, sekaligus pusat kegiatan pemerintahan yang strategis.
Namun apa yang diwariskan oleh pemimpin sebelumnya justru menyulitkan langkah awal pemerintahan baru. Berdasarkan informasi dari sumber terpercaya dalam pemeriksaan internal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), rumah dinas Bupati dan Wakil Bupati Fakfak ditemukan dalam kondisi kosong tanpa inventaris setelah berakhirnya masa jabatan periode 2020–2024.
Tak ada kursi, meja, lemari, apalagi perlengkapan rumah tangga lain yang dibeli melalui APBD. Semua seolah lenyap begitu saja, tanpa jejak. BPK bahkan disebut telah meminta audit menyeluruh terhadap seluruh barang milik daerah yang seharusnya dicatat sebagai aset negara.
“Barang-barang seperti itu dibeli pakai uang rakyat. Kalau bisa hilang tanpa pertanggungjawaban, artinya ada yang salah dan harus diselidiki,” ungkap sumber internal tersebut.
Sementara itu, pemerintah daerah menyatakan siap berkoordinasi dengan BPK untuk menelusuri keberadaan aset-aset yang hilang. Namun publik bertanya-tanya: bagaimana mungkin fasilitas negara bisa ditinggalkan begitu saja dalam keadaan kosong, tanpa berita, tanpa tanggung jawab?
Bupati Samaun dalam keterangannya menyebut bahwa dirinya dan wakil bupati belum menempati rumah jabatan karena sedang dilakukan renovasi. Mereka juga ingin memastikan bahwa fasilitas rumah jabatan sesuai standar sebelum dihuni. Namun renovasi itu sendiri dilakukan di atas puing-puing ketidakjelasan peninggalan pejabat lama.
“Kami tidak ingin terburu-buru masuk. Biarlah diperiksa dulu semuanya agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” ujarnya kepada mataradarindonesia.com.
Kini, rumah jabatan yang seharusnya menjadi pusat pelayanan masyarakat justru menjadi monumen bisu dari lemahnya pengawasan aset negara. Sebuah warisan buruk yang ditinggalkan tanpa rasa tanggung jawab.
Lebih dari sekadar fisik bangunan, kosongnya rumah dinas mencerminkan persoalan mendalam, bahwa dalam transisi kepemimpinan, ada yang belum selesai yakni akuntabilitas.
Publik berharap, renovasi bukan hanya soal cat tembok atau pergantian lampu. Tetapi juga perbaikan etika pengelolaan fasilitas negara. Karena rumah jabatan bukan milik pejabat, melainkan milik rakyat. Dan rakyat berhak tahu ke mana perginya aset mereka.