Fakfak, majalahkribo.com — Masyarakat adat di Dusun Pala Wohibie, Kabupaten Fakfak, kembali melakukan aksi pemalangan terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kadamber pada Senin siang (14/7/2025). Aksi ini merupakan bentuk protes atas pencemaran lingkungan yang sudah berlangsung selama lebih dari tiga dekade dan kian hari kian berdampak serius terhadap lahan adat dan tanaman produktif milik warga.

Menurut keterangan warga, limbah dari aktivitas pembuangan sampah di TPA Kadamber telah mencemari sekitar dua hektare lahan adat. Tanaman pala, buah-buahan, serta tanaman produktif lainnya yang menjadi sumber penghidupan masyarakat mengalami kerusakan parah, bahkan sebagian besar mati.

“Sudah terlalu lama kami bersabar. Sekarang tanaman kami tidak bisa lagi dipanen. Limbah dari TPA sudah meresap ke tanah kami,” ujar Benedektus Rohrohmana, salah satu tokoh masyarakat adat yang ditemui pada Senin, 14 Juli 2025 (malam).

TPA Kadamber diketahui telah beroperasi sejak tahun 1992. Namun, menurut masyarakat, selama lebih dari 30 tahun itu, belum ada langkah konkret dari pemerintah daerah untuk mengatasi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Bahkan, kata mereka, situasi justru makin parah dalam beberapa tahun terakhir.

Puncak kekecewaan masyarakat muncul setelah pertemuan pada 7 Juli 2025 lalu, yang melibatkan perwakilan masyarakat terdampak dan Bupati Fakfak di lantai 3 Kantor Bupati. Dalam pertemuan itu, pemerintah menjanjikan akan melakukan pembahasan lanjutan dan menindaklanjuti persoalan pencemaran. Namun hingga pemalangan ini dilakukan, belum ada kabar lebih lanjut, apalagi tindakan nyata dari pemerintah, terutama dari instansi teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup.

“Bupati sudah bilang ini harus ditangani, tapi sampai sekarang Dinas Lingkungan Hidup belum bergerak. Mereka diam saja,” lanjut Benedektus dengan nada kecewa.

Masyarakat adat Dusun Pala Wohibie pun menyampaikan empat tuntutan utama kepada Pemerintah Kabupaten Fakfak:

1. Segera melakukan pemulihan lingkungan secara menyeluruh di wilayah terdampak limbah di Dusun Pala Wohibie.

2. Membangun tanggul penahan limbah sampah agar pencemaran tidak menyebar ke lahan lainnya.

3. Memberikan kompensasi atas kerugian masyarakat, baik terhadap tanaman jangka pendek maupun jangka panjang yang rusak.

4. Memberikan ganti rugi atas dampak material dan immaterial, termasuk kerusakan tanah, hilangnya kesuburan, serta tekanan psikologis yang dirasakan oleh warga.

Mereka menegaskan bahwa aksi pemalangan terhadap akses masuk TPA akan terus berlanjut sampai pemerintah menunjukkan keseriusan melalui langkah konkret.

“Ini bukan sekadar soal tanaman. Ini soal hak kami sebagai pemilik tanah ulayat, soal masa depan anak cucu kami. Kalau pemerintah tidak segera bertindak, kami akan terus palang TPA,” tegas Benedektus.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Fakfak. Tim redaksi majalahkribo.com masih berupaya untuk melakukan konfirmasi ke pihak terkait. Baca Berita Sebelumnya: Pemilik Hak Ulayat Tuntut Ganti Rugi atas Dampak Limbah TPA Kadamber

Editor: Ronaldo Josef Letsoin

Baca Juga: Kejati & KPK Didobrak Desakan, Bupati Fakfak Terseret Dua Kasus Dugaan Korupsi

Share this Link

Comments are closed.