Oleh : Nomen Douw
CERPEN – Banyak buah di pinggir pantai menempel pada batang-batang tua yang lemah di sebuah kota kecil Papua. Pantai yang indah berpasir coklat hitam bagian ujung. Banyak pepohonan hitam berdiri sembarang tempat bagian dataran rendah yang berlubang. Martinus dan Leo duduk disebuah cafe dekat pantai yang sepi, anginpun jarang melewati kafe. Tidak banyak orang berkunjung karena jauh dari pusat kota dan perumahan warga. Tapi baik untuk mereka yang ingin melakukan sesuatu yang rahasia. Pacaran yang tidak direstui atau sekedar selingkuh.
Nikmat pada buah-buah segar yang membantu melepas dunia yang ribut dalam warna-warni moderen adalah prestasi besar di zaman penuh narsisme. Mesin kopi bunyi dari tangan barista gemuk berkepala topi hijau. Bau kopi tajam menguasai ruangan cafe yang sunyi tanpa angin yang sejuk dari atas laut. Belum ada orang dalam cafe selain Martinus dan Leo sebagai pengunjung pertama. Martinus dan Leo tidak sabar menikmati kopi yang aromanya tajam menusuk lobang hidung.
Jauh dari angin yang sejuk untuk suasana hati Martinus yang masih kosong dengan pintu terbuka, menunggu seorang wanita. Hati Leo memiliki angin yang sejuk, Dia punya kehidupan yang bermakna. Martinus berusia tiga puluh lima tahun. Belum menikah dan suka berganti kenikmatan. Martinus sama umur dengan Leo. Mereka dua berteman sejak kecil hingga masuk sekolah. Leo sudah menikah dengan Dina. Martinus belum menikah, tapi semua temannya telah menikah dan memiliki anak.
Cafe panas hingga urat kepala bisa meledak. Pantai yang aneh menurut Martinus yang suka menikmati alam dan peduli pada lingkungan hidup. Sangat sosialis. Bagi Leo biasa saja, tidak ada sesuatu yang dipikirkan tentang alam dan kehidupan sosial manusia, cukup hanya diri sendiri dan kehidupan keluarga. Sedikit dingin datang dari kipas angin yang bunyi di sudut kafe, seperti suara air hujan yang turun diatas atap rumah.
Waktu tidak terasa di zaman perut moderen. Begitu cepat hari berganti. Seperti usia Martinus masih lajang kaget dengan kondisi tubuh yang telah berubah namun belum menikah. Matahari sore yang kuning sedang pergi dibalik cafe yang sepi dan panas. Lautan yang luas telah diselimuti malam. Martinus ingin menikmati kopi dengan santai walaupun malam tanpa angin sejuk. Leo tidak, Ia akan minum kopi seperti air putih. Martinus suka kopi pahit tapi bukan barista, hanya penikmat berat. Leo suka minum apa saja tanpa dinikmati dengan rakus.
Malam seperti biasa. Cafe ramai dengan beberapa orang di sudut lain. Dua wanita bercelana pendek diatas paha, baju ketat dengan buah dada yang kencang masuk cafe dengan banyak bicara dan genit-genit, persis seperti karakter tokoh wanita dalam film romantis yang mantre. Martinus dan Leo menyukai wanita yang banyak bekerja di rumah daripada cantik dan putih. Leo memahami keindahan adalah relatif. Tapi Martinus punya banyak kriteria lain. Martinus lebih banyak melihat kondisi fisik, pantat montok, buah dada yang besar dan wajah yang enak dinikmati.
Tidak ada manusia yang bisa memastikan bentuk cinta, seperti metafisika tradisional di eropa yang telah berubah karena lahirnya mazhab-mazhab dalam pikiran manusia. Di Papua masih dengan nilai tradisional; melihat cinta sebagai sesuatu yang ada batas identitas agama, suku dan bangsa. Cinta hanya membutuhkan sesuatu untuk masuk pada pintu yang lain, itulah mungkin kata orang, cinta itu buta.
Dua pria dengan baju dinas tentara dan polisi masuk kafe dengan senyum ceria memandang Alce dan Ros yang sudah duduk seksi dengan pesanan es coklat diatas meja bulat. Mereka berpelukan akrap dengan bahagia, senyum lebar, seakan pertemuan mereka sudah lama rindukan. Asyik bercerita tidak melihat Martinus dan Leo duduk menunggu kopi yang lama belum datang di teras kafe yang menghadap lautan luas pasifik yang telah menghitam karena malam.
“Jadi makanan malam lagi”
“Apa itu kawan?”
“Itu perem dong sana”
“Kalau serius trapapa to”
“Io, tapi mereka hanya jadi mainan sex saja”
“Trapapa kalau suka sama suka”
“Perem yang cantik semua macam gila-gila polisi dan tentara ka”
“Trada juga kawan”
“Sa lihat begitu kawan”
“Yang penting tong bisa minum kopi hari ini dan masih ada wanita yang suka kita itu sudah cukup kawanku. Ayolah minum kopi, mana kopi, lama sekali!!!”
Martinus dan Leo duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Zaman itu handphone dimiliki hanya beberapa orang dewasa, itu pun hanya mereka yang memiliki banyak uang. Orang tua Martinus sudah memiliki handphone (hp) karena Pegawai Negeri Sipil (PNS) Orang tua Leo belum memiliki hp karena tidak memiliki banyak uang; hanya punya ternak babi, ayam dan lahan kebun.
Diam-diam Martinus sering meminjam hp bapanya, bermain diam dalam kamar sambil tangan dalam celana ramas-ramas burung kecilnya yang sudah berdiri tegang. Kadang Martinus bawa hp ke sekolah, bermain game bersama Leo dalam kelas, kadang mereka nonton film dibalik gedung sekolah sambil ketawa cakadidi. Kelas tiga SMP, Martinus mulai suka Alce karena satu momen di lapangan sepak bola. Bapa Alce kepala dinas, pulang pergi sekolah selalu diantar dengan mobil, tidak pernah jalan kaki. Martinus pulang pergi sekolah dengan sepeda, dia hanya menyukai Alce dari jauh karena takut. Tidak pernah Martinus sampaikan perasaan suka kepada Alce.
Leo menyukai Dina yang berasal dari keluarga sederhana. Dina datang ke sekolah menggunakan kendaraan umum dan pulang kadang berjalan kaki dibawa terik matahari bersama teman-teman, kadang naik kendaraan umum. Setelah Leo memberanikan diri untuk jujur kepada Dina, mereka mulai pacaran dari SMP kelas tiga hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) Leo dan Dina menikah setelah memiliki anak. Orang tua mereka sama-sama memahami persoalan tanpa bertanya budaya, agama, daerah dan ideologi.
Martinus kuliah satu kota dengan Alce di sebuah kota besar. Leo tidak lanjut kuliah karena Dina sudah hamil, Dia langsung menikah dengan Dina setelah tembus menjadi Pengawai Negeri Sipil (PNS) Martinus lupa bangun komunikasih dengan Alce karena Dia berkenalan dengan banyak wanita zaman kuliah. Perasaan tidak pernah hilang karena Alce wanita pertama yang Martinus suka. Alce selalu muncul dalam hati Martinus saat setiap kali melihat postigan Alce di media sosial. Akan tetapi, kebahagiaan Martinus sepanjang kuliah membaringkannya hingga waktu menampar bel usia.
Dunia pengangguran mempertemukan Martinus dan Leo di sebuah kota setelah sepuluh tahun berpisah. Leo sudah menikah dengan Dina, wanita yang dia suka sejak SMP kelas tiga. Mereka sudah memiliki tiga anak. Martinus belum memiliki wanita, apalagi anak. Martinus masih menyukai Alce dengan cara yang lama, menyukai dari jauh dengan penuh ketakutan. Martinus banyak cerita tentang karakter wanita untuk calon istri yang baik. Martinus curhat tentang Alce yang sudah berubah karena waktu.
Kota yang mereka bertemu menjadi kota pelarian bagi Martinus mencari seorang wanita yang baik. Leo bekerja di Dinas Pendidikan sebagai seorang staff. Leo memiliki motor, rumah dan tanah. Anak dan Istri menunggu Leo dengan bahagia di rumah dengan berkecukupan. Martinus belum memiliki wanita yang mencintai apa adanya. Martinus belum memiliki motor, rumah dan tanah seperti Leo. Martinus hidup seakan diatas angin, terbang kemana angin meniup pergi.
“Itu ko teman SMP sana itu”
“Yeskon Alce, wanita yang sa tunggu sampe hari ini mau tua ini”
“Itu tentara dan polisi dong punya. Kawan, kota ini banyak wanita, ko cari dan jadikan istri cepat”
“Semoga kawanku, itu harapan sa ke kota ini”
Perlahan angin meniup dari hamparan laut yang sudah diselimuti gelap. Buah-buah muda bergoyang dengan lampu-lampu yang indah berganti warna. Nikmat bagi mereka menikmati bukit-bukit kecil yang botak dan lentur, bergerak dalam kecupan hasrat dibawa lampu hitam dan musik yang cepat. Barista gemuk bertopi hijau belum antar kopi untuk Martinus dan Leo. Barista berdiam lama sepanjang Martinus dan Leo bercerita setelah pesan. Kemana. Martinus berdiri untuk memastikan di bar kafe sambil cari muka dengan Alce. Alce melihat Martinus namun tidak menegur, hanya memandang biasa, seakan mereka tidak pernah satu sekolah.
Ciuman panas Alce dengan seorang tentara seakan ingin perlihatkan pada Martinus. Tentara dan polisi merampas tubuh Alce dengan haus setelah berciuman nafsu. Martinus terpaku. Mereka tiga sudah telanjang setelah saling lepas dengan perlahan. Alce sudah menghisap penis tentara yang berurat dari atas meja bulat, tangan kanan genggam penis polisi sambil gerak naik turung, Alce bergantian menghisap penis polisi yang kecil tapi panjang. Penis tentara sudah dalam vagina Alce setelah jongkok dengan sempurna seperti dalam film dewasa, tentara itu agresif dengan penuh emosi mencekik leher Alce. Seakan Alce adalah emas bagi para elit global dan Indonesia yang telah menjaga dengan penuh nafsu dan keras.
Terjadi nyata depan bola mata Martinus. Dia hanya melotot. Alce terlihat ikut menikmati nafsu tentara dan polisi yang membawanya kemana-mana, diatas meja, kursi, tembok dan lantai. Mulut Alce basah karena penis tentara dan polisi keluar masuk dengan bergantian. Alce berteriak kesakitan karena penis tentara masuk dengan sempit. Tapi Alce menikmati tanpa larang. Bunyi kursi, meja dan lantai. Wajah Alce yang penuh keringan basah menatap tentara dan polisi yang sedang berusaha keluarkan sperma kental di permukaan wajah Alce yang sudah panas keringat dan air liur. Alce membuka mulut sambil keluarkan lidah seperti ular. Seakan dia menikmati susu cair putih yang manis dengan rakus.
“Woeee..kawan! ko nonton apa ini? Cepat nikah sudah,” tegur Leo melihat Martinus sedang menatap hp dalam kamar mandi sambil memainkan penis dengan cepat. Martinus tiba-tiba kaget dan keluar dari mimpi dalam toilet. Martinus puas, lega menatap wajah Alce dalam hp.
(Kotaraja 2024)