Menteri Investasi Bahlil Lahadalia saat menjadi pembicara di Fortune Indonesia Summit 2023.

Gaya sederhana terlihat dari sosok Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Siapa sangka, gaya hidup itu sudah melekat dengannya sejak kecil. Ya, Bahlil memang harus merasakan hidup miskin sejak kecil.

Pria asal Fakfak ini bercerita, dirinya dilahirkan dari keluarga sederhana. Ibu yang seorang Asisten Rumah Tanga (ART) dan ayah berprofesi sebagai buruh, membuat kehidupannya penuh dengan dinamika.

“Memang saya lahir di Maluku. Saya dilahirkan oleh keluarga yang sederhana, ibu PRT, ayah buruh dari Papua. Sekolah SD harus ke Fak-Fak. Masa kecil saya penuh dinamika, jualan kue pagi-pagi. Ibu saya habis Subuh bikin kue dan saya jajakan ke teman,” kenang Bahlil, saat menjadi pembicara di Fortune Indonesia Summit 2023, di Tribrata Dharmawangsa, Jakarta, Rabu, 15 Maret 2023.

Pukul Anak kepala sekolah

Dia bercerita, hidupnya yang “keras” membuat dia “berlabuh” di terminal ketika Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara ketika duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) dirinya bahkan menjadi sopir taksi.

“Suatu saat, SMP enggak tamat, lalu saya kejar paket C, waktu itu ada perkelahian di sekolah, saya sempat pukul anak kepala sekolah, lalu saya lari ke hutan,” tuturnya.

Saat ditanya apakah Bahlil malu dengan kondisinya saat itu, dia pun tak menampiknya. “Kalau bicara malu ya pasti malu, bagi saya enggak ada pilihan, mau melakukan atau mati. Pekerjaan yang saya enggak suka, kalau enggak gitu saya enggak bisa sekolah, begitu juga adik-adik saya. Saya bersyukur lahir dari keluarga yang serba cukup. Saya bangga dengan ayah ibu saya,” tegasnya.

Cita-cita Bahlil Menjadi TNI

Bahlil pun kembali mengenang, dirinya ketika remaja memiliki cita-cita menjadi tentara. Hal ini semata agar bisa sombong sama polisi karena melihat kehidupannya saat di terminal ketika itu. Tapi ternyata, ketika daftar menjadi tentara, dia pun tidak lolos karena tinggi badan kurang memenuhi syarat.

“Setelah tamat SMA, lalu saya kuliah di Jayapura, di Fakfak ada kapal perintis yang memuat barang-barang seperti singkong, ayam, dan kambing. Demi kuliah, saya naik kapal perintis dari Fakfak ke Jayapura selama dua minggu. Tapi sampai di Jayapura kampusnya sudah tutup, saya telat daftar,” urainya sembari tertawa.

“Setelah itu saya S1, saya kuliah jadi aktivis, ketua senat, suka demo. Organisasi jadi tempat menempa kita. Kita IP bagus siap jadi pekerja, kalau IP dua koma ya jadi pengusaha mikirnya. Selesai kuliah cita-citanya sederhana, saya lahir miskin, kuliah jualan loper koran, kuliah di asrama, saya pernah busung lapar karena terus-terusan makan mangga yang jatuh dari pohon,” tuturnya.

Bahlil pun mengatakan, untuk menjadi pengusaha merupakan sebuah bonus. Dia sempat berpikir, ketika orang menjadi pengusaha haruslah banyak uang, atau minimal mempunyai keluarga yang banyak uang.

“Tapi saya enggak gitu. Pengusaha dalam kamus saya cuma dua, by nasab dan nasib. Nasab punya turunan bagus, ada usaha keluarga. By nasib layaknya berjudi. Lalu ada by desain, gabungan keduanya. By nasib mental perjuangannya tinggi, tapi kalau enggak dilakukan dengan jaringan, maka susah,” jelasnya.

“Memulai menjadi pengusaha memang susah, pernah mencoba melamar ke perusahaan-perusahaan. Saya jadi pengurus CV di Papua, wakil bendahara umum di Papua. Dari situ kita bangun akses. Bangun bisnis, kayu, dan lain-lain. Setelah itu bangun partner, lalu saya gabung Hipmi bareng Sandi Uno, Erwin Aksa. Teman-teman saya anak konglomerat, menteri, saya tidak demikian. Saya pribumi pertama (di Hipmi) yang bukan dari keluarga berada. Menjadi pengusaha mengantarkan saya bisa menjadi menteri,” pungkasnya.

Share this Link

Comments are closed.