Penulis : Elias Hindom
Penulis adalah Senior Gerakan Mahasiswa Fakfak (Gemafa) di Kota Studi Jayapura
Otsus :
Melihat dinamika yang terjadi di seluruh tanah Papua sejak tahun 1960-an hingga kini masih dikerumuni masalah yang sangat ekstrim di berbagai daerah. Akar persoalan ini adalah fakta sejarah Papua yang dimanipulasi oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan bermain politik, menguasai perekonomian dan sistem pemerintahan untuk mengemas keuntungan diatas tanah Papua. Berbagai peristiwa penting dan menarik terus terjadi di tanah Papua. Perkembangannya begitu cepat dan terus berubah, termasuk di dalamnya pembangunan dan berbagai persoalan politik serta keamanan. Situasi yang terus berubah dan berkembang ini kalau tidak tercatat dengan baik maka akan berlalu begitu saja dan orang segera melupakannya, karena waktu berikut peristiwa yang lainnya sudah muncul menutupi persoalan sebelumnya. Berbagai peristiwa yang terjadi kalau kita baca dengan baik, sesungguhnya secara jelas dan nyata telah memaparkan kepada kita, beratnya persoalan yang dialami bangsa Papua yang telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1963, berbagai persoalan ini tidak terbantahkan, sebab fakta sangat jelas. Atas nama pembangunan, perkebunan, pertambangan, berbagai sarana penunjang pemerintah terus dibangun termasuk ruko-ruko yang tersebar di kota-kota, yang ternyata bukan hanya orang Papua yang kehilangan hak atas tanah adatnya, tetapi juga terpinggirkan oleh berbagai kebijakan yang dibuat, dan tidak dilibatkan dalam berbagai keputusan kebijakan itu. Sekalipun seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atas nama kesejahteraan bagi orang Papua.
Sesuai dengan amanat UU Otsus, Provinsi Papua harus memiliki beberapa Perdasus yang harus dibuat dan berlaku di Provinsi Papua antara lain Perdasus tentang MRP sesuai dengan amanat Pasal 19-25 UU Otsus. Perdasus tentang Bendera dan lagu daerah sesuai dengan amanat Pasal 2 UU Otsus. Perdasi tentang Komisi Hukum Ad Hoc sesuai dengan amanat Pasal 32 UU Otsus. Pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM) sesuai dengan amanat pasal 45 ayat 2 UU Otsus. Perdasus tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai dengan amanat Pasal 46 UU Otsus. Dimana tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 46 ayat (1) adalah: a. Melakukan klarifikasi sejarah Papua; dan b. merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. KKR di Papua belum atau tidak pernah dibuat, yang tampaknya disebabkan oleh dibatalkannya UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Desember 2006. Pembatalan UU 27/2004 ini merupakan kemunduran negara dalam menegakkan Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi nasional terkait kekerasan di masa lalu. Tidak adanya KKR Nasional menjadi justifikasi untuk tidak membentuk KKR di Papua dan Aceh, walaupun telah disebutkan dalam UU Otsus untuk kedua wilayah tersebut. Pembatalan UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah upaya pemerintah RI menghindari tuntutan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang telah dilakukan terhadap rakyat Aceh maupun rakyat bangsa Papua sejak 1 Mei 1961 hingga 2000 asas retroaktif (berlaku surut atau sering disebut pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada pengundangannya), maupun yang akan terjadi. Termasuk upaya negara untuk menghindari Pasal 46 ayat 1 UU Otsus yang merekomendasikan pelurusan sejarah Penganeksasian kedaulatan politik dan pelanggaran HAM terhadap bangsa Papua. Karena pemerintah Indonesia telah menganeksasi kedaulatan bangsa Papua melalui pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan sejak 1 Mei 1962 dan melalui sandiwara, rekayasa dan manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969) yang cacat hukum dan moral karena tidak sesuai dengan mekanisme demokrasi internasional yang direkomendasikan, yaitu One Man One Vote (Satu Orang Satu Suara).
Selama ini aparat pemerintah Indonesia baik Presiden, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, Pangdam Cenderawasih, Kapolda Papua, para Ilmuwan, Politisi dan Cendekiawan selalu menyatakan status Papua dalam bingkai NKRI sudah final di berbagai forum dan kesempatan sementara di pihak lain, rakyat dan bangsa Papua menyatakan bahwa Pepera 1969 adalah cacat hukum dan moral serta tidak sesuai dengan mekanisme demokrasi internasional yang direkomendasikan. Oleh karena itu, pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di tanah Papua adalah adalah Ilegal. Pertanyaannya jika status Papua di dalam NKRI sudah final, mengapa pemerinta Indonesia tidak membentuk KKR sebagai amanat UU Otsus untuk saling mengklarifikasi argumentasi antara pihak pemerintah Indonesia dan rakyat Papua?. Tetapi justru pemerintah Indonesia menghindarinya dengan membatalkan UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Desember 2006. Ini berarti peng-Integrasi-an kedaulatan politik rakyat dan bangsa Papua ke dalam bingkai NKRI belum final, masih ada masalah yang perlu diselesaikan.
Dalam implementasinya pemerintah Indonesia baik di pusat maupun di provinsi Papua sama sekali tidak melaksanakan UU Otsus secara konsisten dan konsekuen. Dari sekian Perdasus dan Perdasi yang diamanatkan oleh Otsus, hanya Perdasus No.4/2010 setelah ada PP No.45/2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Sementara pasal-pasal krusial dan kekhususan seperti Perdasus tentang Bendera, lagu daerah, simbol-simbol, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Perdasi tentang Komisi Ad Hoc, Pengadilan Hak Asasi Manusia belum dibuat hingga saat ini bahkan akhirnya Otsus direvisi secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pemerintah Indonesia melalui Perpu No.1/2008 secara Ilegal.
Ketika rakyat bangsa Papua menyampaikan aspirasi mereka secara damai melalui aksi demo damai selalu dianggap melanggar hukum. Aparat negara baik Presiden, Menteri, Kapolri, Panglima, TNI di pusat. Gubernur, Bupati, Walikota, DPRP maupun DPRD serta aparat TNI/Polri di seluruh tanah Papua selalu mengklaim bahwa Indonesia adalah negara hukum, Hukum diatas segala-galanya. Hukum harus dijunjung tinggi, Hukum harus dihormati dan dihargai, Hukum harus ditegakkan. Hukum yang dihargai, dijaga, dipelihara dan ditegakkan terhadap bangsa Papua adalah produk hukum Makar warisan Kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai zaman dan UUD 1945. Yang dahulu digunakan oleh Belanda untuk membungkam perlawanan politik bangsa Melayu-Indonesia. Sedangkan produk hukum pemerintah Indonesia, terutama Otsus sama sekali tidak dihargai, tidak dihormati, tidak dijunjung tinggi dan tidak diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen di tanah Papua.
DOB :
Perpanjangan Otonomi Khusus menjadi jilid kedua berlaku mulai sejak tahun 2021, pemerintah Indonesia merasa bahwa Otsus menjadi penting untuk terus dilanjutkan dengan menambah nominal jumlah dana yang begitu besar dengan capaian bahwa orang Papua tidak akan berteriak lagi, minta merdeka dan lain sebagainya sebab ini akan memberikan dampak pembangunan yang begitu besar terhadap Papua secara keseluruhan. Fakta tersebut tidak menjadi nyata tetapi justru gejolak penolakan Otsus oleh rakyat Papua terus mengalir dengan amarah yang serius bahwa kesimpulan dari Otsus itu telah gagal membangun Manusia Papua dan menjamin hak-hak yang sama sebagaimana tertuang dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai negara/pemerintah yang menganut sistem demokrasi tetapi hal ini tidak menjadi kepatuhan oleh negara untuk melihat dan menjawab secara terbuka masalah Papua dan status politiknya.
Pengertian Daerah Otonomi Baru (DOB), yang secara garis besar berarti daerah yang berwenang mengatur rumah tangganya sendiri. Untuk selanjutnya, sistem yang dipakai antara pusat dan daerah adalah perbedaan sentralisasi dan desentralisasi. Berbeda dengan konsep negara serikat atau negara bagian, ada pembagian tugas dan wewenang antara pengertian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sistem ini yang dipakai oleh pemerintah Indonesia, yang wilayahnya cukup luas. Mencakup daratan dan lautan. Penegasan antara adanya otonomi daerah, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah diatur oleh UUD 1945 pasal 18 sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Kemudian, aturan konstitusi diimplementasikan dalam UU tentang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 hingga UU Nomor 23 Tahun 2014 dan beberapa peraturan pemerintah terkait.
Kebijakan pemerintah Indonesia mekarkan Daerah Otonomi Baru (DOB) di tanah Papua hari ini justru menjadi ancaman serius bagi eksistensi orang asli Papua kemudian menuai banyak kritik dan penolakan. Pembentukan tiga provinsi baru ini dilakukan dengan berdasar pada UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah untuk menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB). Provinsi-provinsi baru tersebut diantaranya adalah provinsi Papua Selatan yang dibentuk berdasar UU No.14/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, provinsi Papua Tengah berdasarkan UU No.15/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan provinsi Papua Pegunungan berdasarkan UU No.16/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan.
Pembentukan DOB berdasarkan UU No.14/2022, UU No.15/2022, dan UU No.16/2022 tentang Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan dinilai cukup singkat, karena dilakukan dalam kurun waktu 2,5 bulan untuk mengesahkan 3 RUU menjadi UU atas inisiatif DPR dalam forum Badan Legislatif (Baleg) pada 12 April 2022. Jika melihat aturan pemekaran wilayah Provinsi Papua, kita bisa melihat UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Dalam UU Otsus Papua tersebut ditegaskan bahwa pemekaran wilayah di Papua hanya bisa dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) atau lembaga Negara yang diberikan amanat oleh Otsus untuk menjadi perwakilan kultural orang asli Papua. Namun dalam praktiknya, UU Otsus Papua ini sempat mengalami revisi yang salah satunya mengenai pemekaran wilayah di Papua juga bisa dilakukan oleh pemerintah pusat.
UU No.14/2022, UU No.15/2022, dan UU No.16/2022 tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan tersebut merupakan representasi dari ketentuan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah yang telah diubah beberapa kali diantaranya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut mengatur mengenai pembentukan daerah yang disebutkan dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Seperti contoh persoalan pemekaran wilayah juga termasuk ke dalam ranah pembentukan daerah. UU Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan Undang-Undang tersendiri. Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Pemerintah Daerah yang berbunyi :
- Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang;
- Undang-Undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibu kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
Sementara legislasi pemekaran wilayah tercantum dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang berbunyi :
- Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Meskipun terdapat ketentuan yang mengatur tentang pembentukan daerah otonomi baru, namun terdapat syarat pembentukan Provinsi baru yang harus dipenuhi, diantaranya mengenai syarat administratif, syarat teknis, dan syarat fisik kewilayahan. Untuk Provinsi syarat administrasi yang perlu dipenuhi terkait dengan adanya persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi tersebut dengan persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (4) UU Pemerintah Daerah mengatur syarat teknis dari pembentukan daerah otonomi baru yang meliputi :
- Kemampuan Ekonomi;
- Potensi Daerah;
- Sosial Budaya;
- Kependudukan;
- Luas Daerah;
- Pertanahan;
- Keamanan;
- Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Terdapat syarat penting yang harus dipenuhi untuk pemekaran provinsi diantaranya; syarat administratif, syarat teknis, dan syarat fisik. Yang dimaksud syarat administratif adalah syarat ketatanegaraan, yang berupa surat-surat dan persetujuan semua instansi terkait. syarat administratif pembentukan daerah otonomi baru (provinsi) diantaranya; Untuk pembentukan provinsi, maka harus ada persetujuan dari DPRD Kabupaten atau Kota dan Bupati atau Walikota yang wilayahnya direncanakan menjadi wilayah provinsi yang akan dibentuk. Selain itu, pengajuan pembentukan daerah otonomi harus mendapat persetujuan dari DPRD provinsi induk atau asal dan gubernurnya. terakhir adalah adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sesingkatnya satu poin yang tertuang dalam syarat administratif dapat berlaku apabila yang akan dibentuk adalah provinsi baru. Syarat administratif biasanya dipenuhi apabila syarat teknis dan syarat fisik sudah dipenuhi dan diberi penilaian oleh tim yang ditunjuk. Hasil dari penilaian mengenai syarat teknis dan fisik kemudian disampaikan saat sidang sebagai bahan pertimbangan persetujuan syarat administratif.
Syarat Teknis pembentukan Daerah Otonomi baru sebuah wilayah baru atau daerah otonom yang baru dibentuk tentu saja tidak akan selamanya bergantung pada dana hibah. Sebuah daerah otonom haruslah mempunyai kemampuan sendiri dalam mengelola pemerintahannya. oleh karena itu, syarat fisik menjadi syarat pembentukan daerah otonomi. Agar kelak daerah yang baru dapat membangun dan mensejahterakan masyarakatnya. Yang termasuk syarat fisik, yaitu;
- Kemampuan Ekonomi
- Potensi Daerah
- Sosial Budaya
- Sosial Politik
- Kependudukan
- Luas Daerah
- Pertanahan
- Keamanan
- Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
- Kemampuan Keuangan
- Rentang Kendali
Menurut UU dan PP yang menjadi dasar hukum desentralisasi, syarat pembentukan daerah otonom adalah hal-hal diatas. Berdasarkan pengertian Daerah Otonomi Baru yang dibentuk melalui Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014 terhadap provinsi baru yang merupakan induk dari provinsi Papua dan Papua Barat jika diteliti secara detail semuanya belum atau tidak memenuhi syarat mutlak pembentukan pemekaran daerah otonomi baru. Dalam Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah pada pasal 33-43 menjelaskan tentang syarat pembentukan daerah otonomi baru dan itu semua tidak terpenuhi pada pemekaran provinsi baru saat ini.
Berdasarkan peraturan diatas yang jelas tidak menjadi pemenuhan dalam kerangka pembentukan DOB selama ini yang kemudian dipaksakan dalam kurun waktu yang sangat singkat. Sebelum terjadi pemekaran saja sudah banyak persoalan yang dialami masyarakat khususnya orang asli Papua, kemudian ketika DOB ini dibentuk apakah ini menjadi kunci atas semua persoalan tersebut. Tampak tidak menjadi solusi yang tepat malah mendatangkan transmigran dalam jumlah besar mengakibatkan penguasaan dalam lapangan kerja, angka kemiskinan dan pengangguran terus melonjak tinggi, pendidikan dan kesehatan tidak diperhatikan serius. Kekuasaan yang terus dibangun selama ini oleh pemerintah Indonesia dengan dalih kesejahteraan dan pembangunan yang tengah mengeruk semua tentang tanah dan manusia Papua.
Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak
Dinamika politik pemerintah Indonesia semakin mempengaruhi eksistensi masyarakat adat. Dengan melihat suhu politik di daerah Fakfak yang secara tidak langsung sedang mengorbankan eksistensi masyarakat adat sebagaimana hak dasar dan juga sumber daya alam semuanya saling berkaitan erat, kondisi tersebut menjadikannya terpenjara selama ini. Namun sejauh ini Dewan Adat Mbaham Matta terlihat pincang untuk mengambil sikap tegas melawan balik arus politik pemerintah Indonesia, bahkan secara diam-diam turut serta dalam pembentukan daerah otonomi baru. Disinilah saatnya Dewan Adat Mbaham Matta perlu untuk dikritik. Melihat sikap dewan adat dalam momen pembahasan pembentukan daerah otonomi baru sewajar-wajarnya tentu kepentingan masyarakat adat harus menjadi nilai tawar utama sebagai jaminan terhadap kegelisahan mereka selama ini.
Tentu ini bukan sebuah solusi, karena bersahabat dengan pemerintah Indonesia sampai hari ini eksistensi masyarakat adat di tanah Papua itu tidak mendapat jaminan. Masyarakat adat sering mengalami persoalan mendasar yang terus merongrong kehidupan mereka. Pemerintah dan korporasi menjadi biang kerok atas keresahan yang dialami masyarakat adat seperti yang kita tahu bahkan ditengah kehidupan masyarakat sendiri pun tidak menyadari kondisi tersebut, hutan, tanah, sungai yang sebagai sumber kehidupan semua menjadi hilang tergusur oleh kepentingan negara, masyarakat adat tidak mendapat apa-apa dan hidup dalam kepasrahan. Apakah dewan adat sebagai ruang untuk mengakomodir kepentingan masyarakatnya harus berdiam diri atau ikut serta dalam kerja sama negara.
Masyarakat adat Mbaham Matta tampak nyata berada dalam belenggu kekuasaan pemerintah dan investasi, banyak hal yang menjadi prioritas masyarakat adat itu terus dikeruk. Keadaan ini dapat dikatakan sebagai perang senyap perebutan hak kesulungan dan sumber daya alam masyarakat adat Mbaham Matta yang tengah berlangsung. Tampak tidak ada kegelisahan tetapi sebaliknya berada dalam karakter yang telah terbunuh. Dewan adat harus berpikir untuk mempersiapkan strategi dan taktiknya untuk mengantar masyarakat adat keluar dari belenggu kekuasaan dan korporasi. Jangan ada lagi upaya kamuflase yang terlihat miring dan memperkuat status pemerintah Indonesia dan korporasi menjadi bebas dalam sel-sel masyarakat adat, hal ini harus dilawan bukan dikawal. Mau sampai kapan lagi dengan keadaan seperti ini, pembunuhan karakter masif terjadi dalam tubuh masyarakat adat khususnya di wilayah adat Mbaham Matta.
Hak dasar mana yang sudah diakui pemerintah Indonesia melalui pemerintah daerah kabupaten Fakfak selama ini, contoh nyata tentang komoditas yang sebagai kekuatan ekonomi masyarakat adat itu tidak pernah diselesaikan dan pembangunan, pendidikan dan kesehatan apakah semua ini sudah layak menjamin masyarakat adat Mbaham Matta. Apakah kita harus terus tunduk dan berdoa menanti kedatangan sebuah kebebasan itu datang, mustahil jika tidak ada niat serius merancang perlawanan untuk membasmi ketidakadilan. Perkembangan semakin bergerak maju sehingga bertindak dan berpikir juga harus realistis, bukan bertahan dan berjuang menggunakan konsep konservatisme yang selama ini menjadi subur didalam intelektual masyarakat adat. Kita akan terbuang jauh dan berada dalam kurungan penjara sebagai akibat dari pola pikir konservatisme yang masih kuat hingga hari ini.
Masyarakat adat Mbaham Matta tentu tidak semua yang tahu tentang aktivitas Dewan Adat dalam keterlibatan mendorong pembentukan pemekaran provinsi Papua Barat Tengah. Sehingga perlu untuk secara terbuka Dewan Adat harus menyampaikan kepada masyarakat, apakah DOB itu perlu untuk dibentuk ataukah tidak. Dan apakah DOB dapat memberikan keuntungan khususnya kepada masyarakat adat. Karena sebelumnya issue DOB menjadi perbincangan hangat dan banyak penolakan. Jika agenda ini didorong secara diam-diam maka tentu akan menuai persoalan baru. Masalah yang sering terjadi di dalam lingkungan masyarakat adat selama ini adalah dampak dari pembangunan yang dilakukan pemerintah tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Contoh kasus yang masif terjadi hingga detik ini yakni Kerusakan hutan, penebangan liar, jual beli tanah, dan hak-hak masyarakat adat serta peraturan khusus yang seharusnya dibentuk Dewan Adat untuk mengamankan posisi masyarakat adat beserta sumber daya alam. Namun hal ini sering terjadi, Pemerintah Indonesia tidak merespon bahkan menutup mata dan terus melakukan tindakan semena-mena. Lajunya investasi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan suara masyarakat adat juga masif terjadi.
Mestinya dewan adat harus mendorong apa yang menjadi hak dasar masyarakat adat itu sendiri, bukan sebaliknya duduk bersama dan mendorong agenda pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan dan lain sebagainya. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU) di meja pemerintah pusat juga masih saja terabaikan, hal ini sengaja agar Pemerintah dan Korporasi dapat bebas bereaksi dalam merenggut kekayaan alam dan menaklukkan batas-batas kekuasaan wilayah adat. Otonomi Khusus mana yang sudah mensejahterakan masyarakat adat, pembangunan mana yang tidak merugikan masyarakat adat, provinsi baru bahkan provinsi lama pun mana yang sudah memberikan dampak baik terhadap masyarakat adat, perusahaan atau investasi mana yang memberikan jaminan terhadap masyarakat adat, kebijakan mana yang dibuat untuk mengatur dan melindungi hak-hak dasar masyarakat adat. Apakah semua ini Dewan Adat harus tetap diam dalam keresahan masyarakat adat selama ini.