Oleh : Nomen Douw
CERPEN – “Perjalananku bukan Perjalananmu. Perjalananku adalah Perjalananmu.” – Agustinus Wibowo
Matahari sore menggigit kulit, aula wakbar sudah bunyi dimana-mana di wilayah kota Nabire (aula wakbar, sebutan suara adzan sebagian orang Papua ketika mendengar). Jarum jam di angka tiga sore. Saya berdiri di pinggir jalan patun (wilayah markas TNI Kabupaten Nabire Papua). Baru diantar teman setelah saling memastikan posisi terakhir dengan Melvin. Saya menunggu Melvin di pinggir jalan utama Batalion setelah saya berkabar. Berlindung dibawah bayanggan pohon.
Mobil Avanza warna silver dan mobil etion putih sudah memarkir pinggir jalan, depan rumah Melvin, disamping saya menunggu, entalah milik siapa? saya jadi ingat kejadian dua hari yang lalu di kota yang sama, ada sebuah kedai kopi milik anak muda Papua dimalam hari, tepat depan kantor kodim, ada dua mobil memarkir depan kantor kodim dan orangnya sedang nongkrong di kedai, saya di kedai, ada salah satu tentara menghampiri kami dan menyuruh kami pindahkan mobil dari depan kantor kodim.
Bocah perempuan Papua, kurang lebih berusia tujuh tahun lewat samping dua mobil tadi, Dia berhenti melihat wajah mungilnya di kaca mobil lalu lewat lagi, seperti wanita dewasa bercermin sebelum pergi acara malam di kota Papua. Mama Papua bernoken putih panjang lewat dengan bergantung pada leher. Berkaki kosong, wajah hitam bersinar matahari, mungkin karena mama berkebun sepanjang hari dan berjualan di pasar, pinggir jalan di pasar Nabire dengan alas karton dan karung bekas. Dia (mama) jalan dengan pelan berkepala berat, sepertinya ada yang dipikirkan, entahlah mungkin kepada anak diluar Papua dibangku pendidikan kuliah.
Dua anak bocah dari kios pulang ke rumah. Jalan cukup sedikit ramai. Beberapa ojek berhelem putih dan biru memberi syarat mencari penumpan; berpikir saya sedang menunggu ojek. Tiga kali saya tolak dengan bahasa tubuh. Dengan semangat tiga bocah berumur Sekolah Dasar (SD) memancing belut dalam got.
”Ikan beelut!!!,”suara nyanyi seorang boca berbaju ping diatas jalan aspal; sambil memperbaiki alat mancing ditanggan. Dua bocah sibuk memancing dalam got kepala dalam got kepalanya seperti orang sedang tunduk sholat. Bocah yang diatas aspal bergabung, datang seorang bocah gadis, lewat disampin saya.
“Jepri!!,”teriak sambil berlari kepada ketiga bocah yang sedang sibuk memancing seperti di kolam ikan.
Melvin membuka pintu rumah, memastikan saya menunggu diluar atau tidak. Depan pagar, jalan raya beraspal, dibawah pohon seperti daun kacang tanah. Saya masih menunggu sambil sibuk bermain handphone. Jek Kobogau baru lewat ke lapangan Batalion, Jek saya menyebutnya pria kompetisi sepak bola di Nabire Papua. Dia rutin mengadakan kompetisi sepak bola di daerah dengan slogan,”menghibur masyarakat” Saya selalu punya ibu jari untuk Dia. Mungkin ada yang kurang dari pikiran saya tentang Jek, tapi saya melihatnya kemampuan lain dan semangat untuk sepak bola.
Motor mega pro sudah bunyi, saya tergerak karena saya tau Melvin sedang keluar untuk kita berangkat. Melvin sudah keluar dari halaman rumah dengan motor, berhelem g2 merah celana panjang. Hanya sebentar dan Jek lanjut ke lapangan sepak bola Batalion.
“Baru tadi ko dari?” tanya Melvin kepada saya.
“Teman antar, habis tadi kami duduk di BMW (bumi wonerejo),” balas saya sambil naik motor.
Diatas motor dibalik Melvin, diatas mega pro. Tujuan Pantai Budi, Kopi Jumat; aktivitas diskusi yang diinisiasi oleh beberapa pemuda kota, mencari bentuk diskusi yang cocok. Setiap hari jumat, mengisi hari dalam gelas kopi dengan sebutan kopi jumat, berfilsafat bersama tungku api,cerek,kopi; berdiskursus dengan siapa saja ruang diskusi, di alam liar di sekitarnya.
Batalion menuju Pantai Budi, melewati kaliharapan dan pusat kota. Kami dua memilih lewat Kaliharapan, lebih cepat dan menghindari macet lampu merah Tugu Roket, Kesuma dan Tugu Cenderawasi. Jalur Kaliharapan, jalan yang lebih dekat dengan kaki bukit hijau, berpohon lebat hingga di pinggir jalan utama.
”Tempat ini mayat perempuan yang kita cerita kemaring itu, ditemuka disini,” tunjuk Melvin sebelum kami berbelok ke wilayah Nabarua dari Wilayah Kaliharapan.
”Io, katanya dibunuh,” respon saya setelah
melihat garis polisi yang melingkar di tempat mayat yang di temukan.
“Pelakunya suami. Kena pasal pembunuhan berencana,” jelas kaka Melvin.
”Jahat sekali suaminya,” balas saya.
Melewati jembatan besi, jembatan Nabarua, ada beberapa bocah-bocah bermain pinggir jalan dan dibawah sungai. Sungai berbatu yang hampir kering walaupun kota ini sedang musim kemarau, sungai batu sedikit air. Waktu saya masih duduk kursi sekolah menengga (smp) perna mandi di sungai Nabarua, air masih bersi dan dalam, sekarang berbeda, banyak alat berat mengambil material.
Di belokan jalan setelah sungai, ada warga gunung menjual hasil kebun, Ubi, Singkong dan Sayuran. Dua meja dengan jarak sepuluh meter di bawah pohon cemarah dan beberapa pohon lain. Melewati jalan belakang rumah sakit umum, jalan yang semakin kecil karena kendaraan jarang dilewati, jalan yang sudah menjadi penampung sampah orang-orang rumah sakit. Ada tiga pemuda sedang miras dijalan, ada botol diantara mereka duduk. Duduk menguasai badan jalan, bergesar setelah mendengar bunyi kendaraan.
Jam sudah setengga empat. Di mata saya, kota Nabire semakin ramai, mungkin karena saya sedang membandingkan keramaian Provinsi dan Kabupaten, baru satu minggu saya di Nabire setelah berlibur di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Kami berdua sampai di jalan utama R.E. Martadinata, jalan yang menghubungkan pelabuhan Nabire dan kota, menghubungkan distrik Makimi Nabire Timur dan Kabupaten Kota.
Berhenti di kios Alfa Kimi jalan Poros Samabusa. Dua ibu sedang temani dua anak mereka bermain-main sore hari halaman rumah, keluarga pendatang. Kios, warung dan toko, 99% milik warga pendatang. Satu ibu layani Melvin bekal duduk kopi jumat; roti, goodday saset amerikano dan air putih dalam kemasan mangkok. Lanjut dalam perjalanan menuju Pantai Budi. Kuran lebih empat kilo dari jalan utama ke bibir pantai.
Sampai di wilayah Pantai Budi, pantai berpasir abu-abu. Banyak pohon tua hijau berserak,”Dilarang bakar di akar pohon,” tulisan disalah satu pohon sebagai pemberitahuan. Rumah papan kecil toilet dan kamar ganti dengan sumur semen disamping. Sepertinya ada satu keluarga sedang menyapu Pantai. Mereka punya sebagian wilayah Pantai Budi sesuai pembagian wilayah, ada pagar kawat dan kayu. Asap dari bakaran sampah berjalar diantara pohon-pohon, keluar diantara daun-daun hijau. Melewati diantara mereka.
Kami dua duduk di tempat yang kami (kopi jumat) nikmati kopi di hari jumat, di meja dan kursi panjang yang ditanam dalam tanah oleh warga Waharia (nama kampung di wilayah Pantai Budi). Hanya lima belas meter dari satu keluarga yang sedang menyapu. Tidak lama, dua bocah perempuan usia sekolah menengah pertama datang menagi ongkos parkir. Mereka wajib menagi, ada sesuatu yang mereka kerjakan, membersihkan daun kering diatas pasir hingga membakar sampah plastik. Hanya di hari minggu padat dengan pengunjung di Pantai Budi, hari libur sedikit banyak. Satu motor sepuluh ribu, Mobil Lima Puluh ribu.
Matahari semakin jatuh dibalik pohon-pohon tua hijau, dibalik saya duduk dan depan wajah Melvin duduk hadap laut. Jam lima, diatas meja kayu ada roti dan minuman dingin; sambil bercerita banyak topik. Salah satunya soal dunia perfileman. Kami dua diskusi soal pertama kali mengenal dunia film eksen, misalnya filem rambo dan film lainnya, seperti komando, Jacki Chan, Jetli dll. Sebelah kanan dari saya duduk, ada beberapa kuburan di tanah pantai pasir. Dibalik kayu besar yang melintan, ada bunyi gesekan orang menyapu, dua bocah perempuan berusia sekolah menenggah tadi sedang menyapu pantai. Sepertinya mereka dua membantu orang tua mereka sebagai kewajiban sebagai anak dalam keluarga.
Kopi jumat; cerek berair putih, tungku api dan kopi, putar sesuai keinginan masing-masing. Duduk dalam masing-masing sudut pandang, tidak saling mengatur, bebas merdeka dalam berpikir. Diskusi sesuai topik yang kami sepakat dalam satu minggu, masing-masing pelajari lalu berbagi forum kopi jumat. Dekat dengan suasana alamiah yang menyenangkan. Kopi jumat kali ini kami berdua, biasa. Kopi jumat bertradisi duduk dan berdiskusi, tidak harus banyak orang atau harus minum kopi, tidak harus memasang tungku api atau tidak, yang penting bisa duduk bersama.
Hari jumat di minggu yang lalu, Yepa memandu kami diskusi soal krisis pagang di Lany Jaya Papua, ada pendapat dari perspektif sosial politik yang bagus dari anggota diskusi kopi jumat. Di tempat yang sama kami dua duduk sekarang, minggu lalu kami berlima duduk, ada tungku api dan air panas dalam cerek berleher seperti bebek memuntah uap bertanda air mendidih untuk kopi. Cuaca cerah, tidak seperti jumat minggu lalu, hujan turun sementara kami diskusi sambil minum kopi. Kami bergeser dibawah pondok, suasan hujan menjadi asyik dengan segelas cangkir kopi panas.
Sore tidak lagi sore, seperti usia manusia sudah senja dan akan senja. Hanya sedikit terang dari cahaya kecil senja yang sedang pergi, saya suka menyebutnya cahaya matahari terakhir di sore hari, kata banyak orang “senja”. Senja itu sedang pergi dibalik pohon-pohon hijau kami berdua duduk (saya dan melvin). Cahaya orenge pantul diatas kulit air laut, tapi hanya beberapa menit, seperti; ”banyak kebaikan orang hancur hanya karena satu kesalahan di mata manusia” begitu pun senja pergi seakan diusir gelap malam.
Tinggal cahaya kecil memantul pada kursi kayu, meja dan pohon- pohon tua hijau, waktu berlalu cepat, terlihat hanya bayangan gelap, nampak gelap; wujud hitam diantara cahaya kecil buram. Hari jumat yang terang sebentar lagi gelap setelah semua menghilang dari gelap. Kami dua gegas pulang sebelum gelap gulita. Sebelumnya kami berdua membuang sampah pelastik pada tempatnya, seperti membuang cerita positif dan negatif pada tempat yang tepat_ada energi yang dibuang dan simpan. Membuang sampah atau bakar, istilah kami”menyimpan” rutin yang wajid sebelum pulang rumah, mencoba belajar memahami hukum alam dan bahasa lingkungan hidup sebagai bagian dari edukasi.
Kopi jumat adalah alasan berlari menikmati alam bebas, mendengarkan dan merasahkan suara dan cahaya, hari yang menyenangkan. Kata Richard Francis Burton, ”Saat paling membahagiakan dalam hidup manusia, menurutku, adalah saat berangkat untuk perjalanan jauh menuju antah-berantah. Dengan penuh susah payah melepaskan diri dari belenggu Kebiasaan, beratnya beban Rutinitas, selubung dari segala Kepedulian dan perbudakan oleh Peradaban, akhirnya seorang manusia dapat merasakan kebagiaan sekali lagi”.