Oleh: Arkilaus Baho
MK – Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua dan Papua Barat sampai sekarang masih didominasi dari sektor ekonomi ekstraktif. Freeport di Papua dan LNG BP di Papua Barat penyumbang terbesar PAD di provinsi tersebut.
Tumpuan PAD provinsi di timur Indonesia dari sektor ekstraktif tersebut, semakin meluas praktik eksploitatif negeri ini dengan keinginan sebagian orang untuk menambah provinsi baru.
Rencana pemekaran wilayah atau daerah otonom baru di Papua dan Papua Barat, saat ini tengah digodok oleh pemerintah pusat, tanpa melibatkan rakyat biasa, mengindikasikan korelasi oligarkis yang merasuki kehidupan bernegara saat ini.
Pemrakarsa DOB kerap menyampaikan bahwa pemekaran justru berdampak pada terbukanya lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat, khususnya orang asli Papua (OAP).
Lapangan kerja tentu didukung oleh tenaga produktif. Jika watak ekonomi di Papua, sebagaimana PAD saat ini, masih bergantung pada pemasukan dari sektor eksploitasi, membuktikan bahwa belum adanya tenaga produktif yang memadai.
Tenaga produktif yang terampil mampu mengelola bahan olahan alami menjadi produk bernilai jual.
Misalnya, jembatan merah Youtefa di Jayapura, seharusnya dari bahan mentah tembaga di freeport, diolah menjadi produk jadi yaitu baja ringan untuk jembatan, tentu tersedia di Jayapura, bukan rakit di daerah lain lalu bawa ke Papua.
Minimnya tenaga terampil akibat watak ekonomi yang cenderung mengeksploitasi daripada memproduksinya secara lokal.
Praktik eksploitatif dengan slogan kesejahteraan atau lapangan pekerjaan, bukan cara baru, tapi peninggalan kolonial Belanda yang hingga sekarang masih dianggap layak untuk diterapkan.
Dahulu VOC merasuki kerajaan Belanda agar legalitas mereka untuk eksploitasi di bumi Papua terwujud.
Sekarang, era kemerdekaan Indonesia, pemerintah masih terjebak dalam keinginan oligarki.
Segelintir manusia bertopeng NKRI itulah yang kini melucuti Pancasila demi mempraktikkan cara-cara kolonialis di Tanah Papua.
Semenjak otonomi khusus diberikan, demokrasi partisipatif rakyat Papua dilembagakan; Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan sekarang tambah lagi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota.
Namun, proses partisipatif sebagaimana Pancasila, musyawarah mufakat, seakan dikebiri. MRP dibungkam. DPRP tidak jelas memihak siapa?. Entah nasib DPRK nantinya apakah sama atau tidak. Rakyat demo pun dibubarkan.
Watak oligarki tak lain menyembah pada ekonomi eksploitatif, anti partisipasi rakyat, senang melakukan praktik politik transaksional. Watak tersebut demi memupuk kekayaan pribadi dan kelompoknya. Bangsa Indonesia dijajah segelintir orang harus diakhiri.
Pemerintah cenderung abaikan partisipasi orang Papua mengontrol kebijakan, tapi kerap membabi buta ketika masih muncul sebagian kecil suara-suara memisahkan diri.
Pemerintah seharusnya mengedepankan partisipasi rakyat untuk didengarkan masukan sebelum mengambil suatu kebijakan, misalnya pemekaran daerah.
Partisipatoris justru memperkokoh pemerintah dan masyarakat. Bukan sebaliknya, pemerintah enjoy dengan oligarki lalu suara rakyat diabaikan?
Pemekaran wilayah yang bukan kepentingan oligarki adalah wajib adanya partisipasi rakyat. Berasal dari keinginan marga-marga OAP. Sebab merekalah yang kena gusur ketika hutan dibabat, gunung di bor, laut dikapling. Marga-marga bermusyawarah dan mufakat, ajukan pemekaran, atau program pembangunan apapun, sesuai yang mereka butuhkan di kampung maupun distrik dan kabupaten hingga provinsi.Wakil-wakil rakyat yang telah mereka tunjuk atau pilih duduk di lembaga negara, menyampaikan aspirasi masyarakat.
Praktik partisipatif dalam kebijakan yang dilakukan tersebut pada akhirnya mempererat Pancasila sebagai dasar bernegara, berbangsa dan ber tanah air.
Penulis adalah Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Khusus Papua dan Papua Barat