Oleh : Jeckson Ikomou
MK – Secara nyata Jakarta kebiri hak hidup orang Papua dengan upaya paksakan Daerah Otonom Baru (DOB) walau tidak memenuhi kriteria sesuai perintah UU. 23 Tahun 2014 Pasal 33 Ayat 1&2 serta secara tegas di tolak org asli Papua . Indikasi Jakarta paksa DOB di Papua tentu diduga taktik penguasah Indonesia utnuk lakukan penjajahan secara terstruktur sistematis & masif serta melindungi kekerasan terus terjadi dialam demokrasi.
Jika simak sesuai UU 23 Tahun. 2014 pada Pasal 33 ayat 1&2, di Papua sangat tidak layak memekarkan Provinsi dan kabupaten. Lagian Pusat paksa walau tak ada uji kelayakan secara kredibel dan imparsial. Niat pemerintah pusat untuk bikin daerah otonomi baru demi integrasi sosial & Poltik , hanya narasi tak teruji dan perpanjangan konflik di Papua. Tak elok pemerintah paksa DOB di tanah Papua, mengingat banyak syarat yang tak layak. Serta pertentangan dengan Undang-undang 23 tahun 2014 pasal 33 Ayat 1 dan 2. Disisi lain pemerintah pusat sengaja menciptakan konflik Destruktif yg merujuk pada konflik diagonal.
Pemekaran di Papua tak ada uji kelayakan dan tak prosedural serta hakikatnya Secara umum, pembentukan daerah persiapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 Ayat (1&2) UU No. 23 tahun 2014, harus memenuhi 2 (dua) persyaratan, yaitu persyaratan pertama, persyaratan dasar yang dimana persyaratan dasar terbagi atas persyaratan dasar kewilayahan yang meliputi luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah, batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kecamatan namun faktanya tidak memenuhi kriteria.
Upaya pemerintah pusat menjaga keutuhan Indonesia dengan eksploitasi sumber daya alam (SDA), pemekaran dan pendekatan militer, justru Pemerintah pusat minim literasi. Mesti ada upaya lain yang lebih konkrit yang di drive secara maksimal.
Pemekaran juga akan percepat Papua lepas dari NKRI sebab pengucuran uang yang banyak tanpa pemanfaatan yang jelas pada kesejahteraan rakyat, justru dimanfaatkan oknum tertentu beli senjata untuk melawan Aparat Indonesia.
Disisi lain, tentu saja ada korban konflik politik serta merugikan uang negara yang kemudian tersedot dalam aktivitas birokrasi. Ada beberapa rumusan yang direkomendasikan bila pemekaran sesuai dengan prinsip Pancasila yaitu musyawarah mufakat sebagai berikut: a. Keterwakilan utusan tiap marga asli Papua untuk menduduki Jabatan legislatif yang diangkat melalui musyawarah dan mufakat bersama, tanpa partai Politik oleh marga sebagaimana penerapan sesuai (PP 106 Thn 2021/DPRK), b. Otsus dievaluasi kembali secara menyeluruh. Dalam prosesnya dapat melibatkan tiap marga di Papua untuk menyampaikan pendapat sesuai kesepakatan internal marga asli Papua. c. Keterwakilan MRP harus ada utusan dari setiap marga, begitu juga DPRP harus ada keterwakilan marga yang diutus, seperti di poin pertama diatas. d. Sektor Ekonomi, sepenuhnya diberikan kesempatan tanpa manuver oleh kelompok lain dalam proses menjalankannya.
Di Papua, Bupati dan gubernur orang Asli Papua tetapi tidak punya kewenangan yang sama seperti kepala daerah lainnya di Indonesia akibat dibatasi 5 (lima) unsur, antara lain; fiskal dan moneter, hukum dan ham, pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri, perhubungan serta agama.
UU No 21 Tahun 2001 perubahan UU N0.2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus Papua, hanya penawar tuntutan rakyat untuk merdeka. Dan Hakikat demokrasi terletak pada upaya menempatkan kekuasaan politik tertinggi pada rakyat itu juga dikebiri oleh penguasa. Akhirnya, sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tak ada gunanya:
Pemekaran justru menyedot anggaran negara dalam aktivitas birokrasi, maka perlu ada konsep baru. Tidak perlu pemekaran banyak-banyak, pemerintah cukup tinjau PP 106 tentang DPRK. Untuk menduduki jabatan Legislatif harus diberikan kewenangan sepenuhnya kepada tiap marga di Papua untuk diangkat secara musyawara dan mufakat dari tiap marga yang ada di wilayah administratif kabupaten/kota. Tentu jumlahnya banyak sebab Papua banyak marga namun justru efisiensi anggaran dan implementasi otsus berdampak luas.
Pemekaran banyak-banyak di Papua tidak akan meredamkan eskalasi konflik di Papua justru memperparah situasi keamanan di tanah Papua. Maka ini solusinya, Untuk menjawab persoalan Papua, pemerintah pusat segara berlakukan PP No. 106/2021/DPRK dengan konsep delegasi setiap marga di Papua untuk menduduki kursi legislatif. Jika hanya keterwakilan wilayah tentu justru pemerintah akan menerapkan demokrasi kapitalis artinya pengusaha akan rampok kedudukan dalam proses seleksinya, sehingga konflik akan terus terjadi konflik serta pihak lain merasa tidak dihargai sebagai anak asli Papua . Oleh karenanya, Jakarta- hentikan Pemekaran di Papua lalu berlakukan konsep “perwakilan marga” dalam menentukan nasib hidupnya maka kami tawarkan konsep “perwakilan marga” ini sebagai upaya mencari solusi perdamaian di tanah Papua.
Penulis adalah sekretaris DPW PRIMA Papua