CERPEN – Melewati Bukit Pintu Angin, Okto bertemu pohon-pohon hijau bertumbuh lebat. Okto baru sampai di atas bukit, sorot matanya tertuju pada pintu pagar besi yang sudah tertutup. Apakah Okto bisa masuk, belum tentu. Okto mengecek jam di layar telepon genggam, sudah pukul 18.12 sore, hampir malam.
Okto membuka aplikasi Google untuk cek jam operasional wisata Goa Binsari, ternyata buka dari pukul 08.00–17.00 (8 pagi sampai 5 sore). Okto terlambat 1 jam lebih 12 menit. Beberapa menit Okto berdiri depan pintu pagar. Datang seorang anak kecil dan mamanya lalu membuka pintu pagar yang sudah digembok dengan rantai besi tanpa berkata apa pun pada Okto.
“Siska ada tamu!” teriak memanggil anak kecil yang tadi ikut mamanya buka pintu pagar.
Okto melangkah pelan sambil membuang pandangan pada artefak dan bangunan tua di bawah pepohonan hijau. Siapa Siska? Dan di mana Siska? Okto tidak melihat sosok manusia ketika ia berjalan jauh dari pintu pagar. Siska hanya nama yang disebut bocah kecil tadi. Namun ketika Okto kembali dari jauh, seorang wanita berumur 18 tahun sedang duduk di atas batu semen tua yang berlumut.
“Mungkin ini yang Siska?” tanya Okto dalam hati. Langkah Okto berhenti tiba-tiba di depan wajah wanita 18 tahun itu. Siska.
“Ko pasti Siska?” ucap Okto sembari memandang wajah. Siska hanya senyum, tidak gerak, tidak bersuara.
Wajah Siska pucat, bola mata berair, senyum muatan terlihat pada pipi yang basah, baju merah kumal berbintang putih, celana tipis biru bergaris putih terlihat lusuh. Tangan kanan Siska menggenggam kertas yang sudah kusam, tulisan pulpen masih bisa dibaca dengan jelas. Siska hanya senyum lalu menyulurkan tangan dengan perlahan, memberikan kertas yang sudah ia tulis dari tangannya pada Okto.
Tanpa Okto menyentuh tubuh Siska sebagai salam pertemuan dan perpisahan, Okto menerima kertas dari tangan Siska. Perlahan tangan kirinya menunjuk arah jalan keluar. Wajah Siska sudah tidak senyum seperti tadi—berubah duka mengeluarkan air mata.
Hendak memulai membaca kesaksian Siska dalam tulisan, tiba-tiba Okto menghilang dari mata, ingatan, dan jejak. Suara-suara yang diam mengejar Okto pergi dari sebuah gedung yang dipenuhi suara tangis minta tolong bercampur suara tawa arogan, dan ada suara mesin besar beroperasi.
Bunyi surat dari Siska: Nama saya Siska, saya lahir tahun 1925, bertumbuh di keluarga yang kaya akan hasil alam laut dan darat. Kami tidak pernah kekurangan makan dan minum untuk bertahan hidup seperti manusia lain; semua selalu ada di rumah panggung beratap daun sagu yang sederhana. Saya dan kaka perempuan selalu bantu mama mencari ubi dan membersihkan ikan. Bapa dan kaka laki-laki setiap hari memeriksa perahu untuk mencari ikan dan menyiapkan tombak untuk berburu di hutan, gua batu dan bukit-bukit sunyi.
Saya anak ketiga dari dua saudara laki-laki dan perempuan, saya anak perempuan yang sangat disayang bapa. Dari saya masih bayi, saya selalu berada di tangan bapa. Setelah saya bertumbuh dan bisa berlari, kadang saya ikut bapa mencari ikan di laut bersama kaka laki-laki, tetapi setelah saya sudah berumur 18 tahun, saya lebih banyak dengan mama di rumah karena kaka perempuan sudah pergi dari rumah setelah menikah dengan pria dari Kampung Parai. Kampung yang jauh dari kampung kami, Binsari.
Pukul 22.11 malam, saya dan mama duduk dalam rumah gubuk yang dibangun dari hasil alam. Saat mama sedang menasihati saya tentang kerja-kerja perempuan setelah menikah, tiba-tiba suara orang-orang di Kampung Binsari memecah kesunyian rumah, orang-orang berlari meninggalkan kampung dengan suara keras saling memanggil. Saya dan mama keluar dari dalam rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Lukas datang dengan hosa-hosa di rumah kami, ia memberitahu kalau semua orang di kampung harus berlari ke hutan. Lukas hanya menyuruh kami lari, tidak bercerita tentang apa yang terjadi. Saya dan mama tidak tahu apa yang telah terjadi, bahaya apa yang mengancam nyawa manusia di kampung kami—di kampung yang sudah hidup damai bertahun-tahun lamanya. Tetapi karena semua orang berlari, saya dan mama juga berlari ikut orang-orang yang sudah masuk dalam hutan. Sementara lari, saya ketakutan nyaris menangis di balik mama yang berlari di depan saya.
Saya melihat semua orang di kampung berlari, mama-mama berlari sambil menggendong anak dalam tangis, bapa-bapa berlari menggendong lampu pelita dan bekal untuk makan. Saat itu bapa dan kaka laki-laki sedang balobe, mencari ikan di laut, belum pulang ke rumah. Rumah kami dan rumah tetangga berjarak 50-an meter. Tangan kiri mama memegang pelita minyak kelapa sambil kita berlari bersama meninggalkan rumah yang telah menyaksikan saya lahir dan besar. Rasanya sedih.
“Mama…!” teriak saya melihat mama ditahan dua pria kulit putih berseragam hijau muda berhelm baja memegang senjata bolt-action panjang.
“Bapa tolong…!” teriak saya lagi setelah tiga pria yang berseragam sama menangkap saya seperti mereka menangkap hewan buruan. Pria yang datang lebih dulu menggenggam tangan saya, pria yang satunya memegang kaki. Saya berusaha lepas dengan seluruh kekuatan, akan tetapi saya hanya seorang wanita kecil ketimbang tiga pria bersenjata yang jauh lebih kuat. Saya melawan, berusaha melepas diri dari tiga pria bersenjata, ingin berlari bersama mama ikut orang-orang yang lebih cepat pergi dari kampung. Mereka lebih keras, rasanya tangan dan kaki mau lepas dari tubuh saya.
Saya melihat mama dibanting di atas tanah dengan keras, saya dengar jelas suara tubuh jatuh di atas tanah berbatu karang. Tidak lama kemudian saya juga dibanting seperti mama. Saya sudah tidak melihat mama lagi, tiba-tiba dunia gelap di bola mata saya, pikiran hilang setelah tubuh terbentur keras pada batu karang, terasa semua tulang patah-patah. Cahaya bulan mati dan cahaya minyak kelapa yang mama pegang hancur di atas tanah. Saya tidak tahu apa yang telah terjadi selanjutnya.
Saya tidak melihat cahaya, tidak mencium sesuatu, dan tidak merasakan apa pun yang nampak. Saya menjadi material, tanpa melawan, pasrah pada sekelompok pria bersenjata yang jahat. Saya kaget bangun dan merasakan sakit pada seluruh tubuh, tidak mampu gerak, sangat berat. Saya melihat tenda hijau muda digantung pada besi, sebagian diikat pada kayu. Posisi dua kaki saya terbuka menghadap langit tenda.
Saya diam, merasakan nyeri pada seluruh tubuh, perlahan saya tarik napas dalam-dalam lalu melepas perlahan sambil mencoba menggerakkan tubuh dengan sulit. Rasanya semua tulang benar-benar patah. Dalam sakit dan air mata, saya ingat mama, bapa, dan kedua kaka. Tidak tahu mereka ada di mana, tetapi saya tidak ingin kehilangan mereka semua, mereka adalah cinta pertama dalam hidup saya.
“Mama, bapa, kaka,” sebut saya dalam hati sembari memeriksa kiri kanan dengan gerak tubuh berat.
Tangan, kaki, dan beberapa bagian tubuh sulit digerakkan, sakit seperti kena lemparan batu-batu besar. Celana dalam saya hilang dari badan, tempat kencing dipenuhi darah dan air putih kental yang saya tidak pernah lihat. Saya merasakan sesuatu yang tidak pernah saya rasakan sepanjang hidup. Tangan berdarah masih terikat dengan tali hutan yang keras. Saya melangkah, menarik seluruh tubuh dengan penuh kesakitan. Perlahan saya melirik keluar melalui celah tenda.
Banyak pria kulit putih berseragam hijau muda bersenjata sedang duduk mendengar seorang komandan berkata-kata menjelaskan sesuatu dengan nada suara yang tegas. Saya dengar suara mereka, tetapi saya tidak memahami bahasa yang mereka pakai. Semakin tidak bisa tahan, tangan dan kaki yang diikat terus mengeluarkan darah, sakit semakin kritis; rasanya tangan akan putus. Sudah tidak mampu bertahan. Saya teriak minta tolong dengan keras walaupun saya tidak tahu akan seperti apa setelah suara saya sampai di telinga para pria bersenjata di luar sana.
“Toloong!” teriak keras saya.
“Siska!” panggil dari balik saya. Saya tahu, itu suara mama.
“Mama, saya di sini, tolong mama, kaki dan tangan Siska diikat, mama, tolong mama cepat datang?” balas saya dengan harapan mama bisa bantu saya lepas tali di kaki dan tangan lalu kita pergi dari pria-pria bersenjata yang jahat.
“Mama!” panggil saya.
“Anak, mama minta maaf, mama juga diikat seperti Siska,” balas mama sambil menangis setelah diam lama. Saya ikut menangis keras meminta tolong pada orang-orang di kampung Binsari.
“Tuhan… toloong!” teriak keras saya.
Para pria bersenjata datang dengan cepat, saya memandangi mereka dengan wajah penuh air mata tak berdaya. Saya menangis lebih keras setelah salah satu dari mereka menampar wajah saya dan menutup mulut saya dengan kain berbau amis. Saya dengar suara mama menangis keras memanggil nama saya. Ada lima pria di depan saya, mereka semua membuka celana dan mengeluarkan penis mereka.
Pria yang satu paksa memasukkan penis ke dalam mulut saya, satunya ke dalam tempat kencing saya yang masih berdarah dan sakit, saya kesakitan seperti kena pisau pada permukaan kulit. Saya sudah tidak berdaya, saya teriak hingga suara hilang, napas semakin pendek. Namun lima pria berseragam itu bergantian memasukkan penis mereka ke dalam alat kelamin saya dan mulut secara bergantian.
Tidak hanya mereka berlima, banyak pria kulit putih datang dan pergi, mereka membuat saya seperti toilet umum hingga saya tidak berdaya. Darah berhenti memompa dari jantung, napas lenyap, tiba-tiba dunia saya menjadi gelap kembali tanpa cahaya. Saya tidak tahu mama sudah bagaimana dan sudah di mana, saya hanya dengar teriakan mama saat pria berseragam datang lalu memaksa saya melakukan apa yang mereka inginkan.
Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan pada mama. Saya tidak tahu juga apa yang sekelompok pria bersenjata lakukan pada saya setelah semua yang menghidupkan tubuh saya berhenti. Apa yang para pria bersenjata lakukan itu sangat sakit dan lebih sakit dari seseorang membunuh dengan cara sekali tembak dengan senjata. Mereka sangat sadis dan jahat pada wanita kecil berumur 18 tahun yang belum pernah dipukul sama bapa dan mama di rumah.
“Inilah yang mungkin mama selalu cerita tentang siksaan Iblis di neraka sebelum tidur malam, tapi dosa saya apa? apakah hidup baik adalah dosa dan membunuh adalah baik?” tanya saya dalam hati dengan penuh kekecewaan pada kehidupan.
Ingat cerita bapa di bulan Januari 1944, bapa cerita; banyak tentara berdatangan dari luar ke Pulau Biak. Mereka mengambil markas di Kampung Parai—merekrut warga lokal untuk bekerja di barak, gudang senjata, dapur, pos komando, dan juga wanita-wanita muda menjadi jugun ianfu atau perempuan penghibur. Saya tidak memahami tentang tentara-tentara. Apa tujuan mereka datang ke kampung kami hingga rumah kami? Namun itu, pada akhirnya saya tahu, saya paham. Saya tidak akan lupa sampai kiamat. Tidak akan. Hormt saya: Siska dari kampung Binsari.
(Jalanbaru, 2025)